Dalam narasi keimanan yang kaya dan berliku, terdapat kisah-kisah luar biasa tentang individu-individu pilihan yang diangkat oleh Tuhan untuk menjadi mercusuar bagi umat manusia. Salah satunya adalah Nabi Zakaria, seorang hamba Allah yang kisahnya sarat dengan pelajaran tentang kesabaran tak terbatas, ketekunan dalam berdoa, dan keyakinan teguh pada kekuasaan Ilahi. Baik dalam tradisi Islam maupun Kristen, Nabi Zakaria dipandang sebagai sosok yang sangat penting, bukan hanya karena kesalehan pribadinya tetapi juga karena perannya sebagai jembatan menuju nabi-nabi besar lainnya: Yahya (Yohanes Pembaptis) putranya, dan Isa Al-Masih (Yesus Kristus) yang adalah sepupu Yahya.
Kisah hidupnya adalah cerminan perjuangan manusia menghadapi keterbatasan dan keputusasaan, namun diakhiri dengan campur tangan mukjizat yang melampaui segala logika. Ia adalah seorang imam, penjaga Bait Suci, yang menjalani hidupnya dengan penuh dedikasi melayani Tuhan. Namun, di balik pengabdiannya yang tak tergoyahkan, tersembunyi sebuah kerinduan mendalam yang belum terpenuhi: seorang keturunan yang akan meneruskan risalah kenabian dan warisan spiritualnya. Kerinduan ini semakin mendalam mengingat usia Zakaria dan istrinya, Elisabet (Isha), yang sudah lanjut dan mandul. Namun, justru dalam momen-momen paling mustahil inilah, keajaiban Tuhan menampakkan diri, mengubah kerikil keputusasaan menjadi permata harapan yang abadi.
Untuk memahami kedalaman kisah Nabi Zakaria, penting untuk menempatkannya dalam konteksi sejarah dan sosiologisnya. Nabi Zakaria hidup di zaman yang kompleks, di mana masyarakat Yahudi berada di bawah dominasi Kekaisaran Romawi, namun masih memegang teguh tradisi agama mereka. Ia adalah seorang keturunan Harun, saudara Nabi Musa, yang berarti ia berasal dari garis imam-imam Bait Suci. Profesi sebagai imam bukan sekadar gelar; itu adalah tugas suci yang diemban dengan tanggung jawab besar, melayani Tuhan, memimpin ibadah, dan menjadi perantara antara Tuhan dan umat-Nya.
Nabi Zakaria dikenal karena kesalehan dan ketakwaannya yang luar biasa. Sepanjang hidupnya, ia tidak pernah lalai dalam melaksanakan tugas keagamaannya, menunjukkan integritas moral dan spiritual yang tinggi. Ia adalah panutan bagi kaumnya dalam beribadah dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan. Istrinya, Elisabet (Isha), juga seorang wanita yang salehah, berasal dari keturunan imam dan dikenal karena kebaikan hatinya. Namun, takdir mereka diuji oleh kenyataan bahwa mereka berdua telah mencapai usia tua dan belum dikaruniai anak, sebuah kondisi yang pada masa itu seringkali dianggap sebagai aib atau kutukan.
Salah satu momen paling krusial dalam kisah Nabi Zakaria terjadi di mihrab (tempat ibadah khusus) Maryam (Maria), ibu Nabi Isa. Maryam adalah kemenakan atau kerabat dekat Zakaria yang juga berada di bawah asuhannya. Setiap kali Zakaria mengunjungi Maryam di mihrabnya, ia menemukan rezeki yang tidak terduga, seperti buah-buahan musim panas di musim dingin, dan buah-buahan musim dingin di musim panas. Ketika Zakaria bertanya dari mana semua ini berasal, Maryam menjawab bahwa itu berasal dari Allah, karena Allah memberikan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.
Peristiwa ini menjadi titik balik bagi Zakaria. Jika Allah Yang Maha Kuasa dapat memberikan rezeki yang luar biasa kepada Maryam di luar kebiasaan alam, maka Dia juga mampu memberinya seorang keturunan, meskipun ia dan istrinya sudah tua dan mandul. Inspirasi ini membakar kembali harapan dalam hati Zakaria yang hampir padam. Di situlah, di dalam mihrab yang sakral, Nabi Zakaria memanjatkan doa yang tulus dan penuh harap kepada Tuhannya.
"Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa." (Surah Ali 'Imran: 38)
Doa ini, yang diulang-ulang dengan kesungguhan, menunjukkan tingkat keimanannya yang tak tergoyahkan. Ia tidak meminta anak semata, tetapi "anak yang baik," keturunan yang saleh yang akan meneruskan risalah dan warisan spiritualnya.
Ketika Nabi Zakaria sedang berdiri dan shalat di mihrabnya, sebuah peristiwa yang mengubah hidupnya terjadi. Malaikat Jibril (Gabriel) mendatanginya dan menyampaikan kabar gembira yang tak terduga. Kabar itu adalah bahwa Allah akan menganugerahinya seorang putra yang bernama Yahya (Yohanes Pembaptis), yang akan menjadi pemimpin, suci, dan seorang nabi dari golongan orang-orang saleh.
Mendengar kabar ini, Nabi Zakaria terkejut dan sedikit ragu, bukan karena ia tidak percaya pada kekuasaan Allah, melainkan karena ia melihat kenyataan fisik yang ada: ia sudah tua renta dan istrinya mandul. Ia bertanya kepada malaikat:
"Ya Tuhanku, bagaimana aku akan mempunyai anak padahal isteriku seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua?" (Surah Ali 'Imran: 40)
Jawaban dari malaikat sangat jelas dan tegas: "Demikianlah Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya." Ini adalah penekanan bahwa bagi Allah, segala sesuatu adalah mungkin, melampaui hukum-hukum alam yang manusia pahami. Untuk menghilangkan keraguan dan sebagai tanda akan terjadinya mukjizat ini, Allah memberikan Zakaria sebuah tanda: ia tidak akan bisa berbicara selama tiga hari (dalam beberapa riwayat Alkitab disebutkan lebih lama hingga kelahiran Yahya), kecuali dengan isyarat. Ini adalah tanda kebesaran Allah, sekaligus sebagai bentuk pengasingan diri Zakaria untuk merenungkan keajaiban yang akan datang.
Selama periode ini, meskipun tidak dapat berbicara, Zakaria tetap berzikir dan memuji nama Allah dengan isyarat dan dalam hatinya. Ia menyampaikan kepada kaumnya untuk bertasbih pagi dan petang, menunjukkan bahwa meskipun kemampuannya terbatas, pengabdiannya kepada Tuhan tidak pernah berhenti.
Sembilan bulan kemudian, sebagaimana yang dijanjikan Allah, Elisabet (Isha) melahirkan seorang putra. Kabar gembira ini menyebar luas di antara kerabat dan tetangga, dan semua orang takjub serta bersukacita atas kelahiran anak di usia senja pasangan Zakaria dan Elisabet. Pada hari kedelapan, sesuai tradisi, bayi itu akan disunat dan diberi nama. Orang-orang ingin menamainya Zakaria sesuai nama ayahnya, namun Elisabet bersikeras bahwa namanya adalah Yahya, nama yang belum pernah digunakan oleh keluarga mereka.
Karena Zakaria masih tidak bisa berbicara, mereka bertanya kepadanya melalui isyarat. Nabi Zakaria meminta papan tulis dan menuliskan, "Namanya adalah Yahya." Seketika itu pula, lidahnya terlepas, dan ia mulai berbicara kembali, memuji Allah dan menyanjung-Nya. Kelahiran Yahya adalah bukti nyata kekuasaan Allah yang tak terbatas dan menjadi tanda bagi seluruh umat manusia. Nabi Zakaria, dengan lidah yang telah kembali normal, mengucapkan puji-pujian kepada Tuhan dan nubuat tentang putranya, Yahya, yang akan menjadi nabi dan perintis jalan bagi Nabi Isa.
Nabi Yahya tumbuh menjadi seorang anak yang saleh, bijaksana, dan sangat mencintai Allah. Sejak kecil, ia telah menunjukkan tanda-tanda kenabian. Ia adalah seorang nabi yang ditugaskan untuk menyeru umat manusia kepada tauhid (keesaan Allah) dan mempersiapkan jalan bagi kedatangan Nabi Isa Al-Masih. Peran utamanya adalah membaptis orang-orang di Sungai Yordan sebagai tanda pertobatan dan membersihkan jiwa dari dosa. Dialah yang membaptis Nabi Isa, sebuah peristiwa yang sangat penting dalam sejarah kenabian.
Nabi Yahya dikenal karena kesederhanaan hidupnya, keberaniannya dalam menyampaikan kebenaran, dan ketegasannya dalam menyeru kepada kebaikan. Ia tidak gentar menghadapi penguasa zalim dan selalu berpegang teguh pada ajaran Allah. Kehidupannya adalah cerminan dari kesucian dan pengorbanan, warisan yang sempurna dari seorang ayah seperti Zakaria.
Kisah Nabi Zakaria tidak bisa dilepaskan dari hubungannya dengan Maryam (Maria). Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Zakaria adalah wali Maryam dan pengasuhnya. Ia menyaksikan sendiri kesucian, ketaatan, dan karamah yang diberikan Allah kepada Maryam. Maryam adalah sosok wanita pilihan, yang dikhususkan oleh Allah untuk mengandung dan melahirkan Isa Al-Masih tanpa ayah, sebuah mukjizat yang lebih besar dari kelahiran Yahya.
Pengalaman Zakaria dengan mukjizat kelahiran Yahya mempersiapkannya secara mental dan spiritual untuk memahami dan menerima mukjizat yang akan terjadi pada Maryam. Ketika malaikat datang kepada Maryam dengan kabar akan lahirnya Isa, mungkin saja Zakaria, dengan pengalamannya sendiri, menjadi salah satu saksi atau paling tidak orang yang paling memahami kebesaran mukjizat tersebut. Ini menunjukkan keterkaitan yang erat antara kisah kedua nabi besar ini dan bagaimana satu mukjizat mempersiapkan jalan bagi mukjizat lainnya.
Baik dalam Al-Qur'an maupun Alkitab, Nabi Zakaria dihormati sebagai seorang nabi dan hamba Tuhan yang saleh. Meskipun ada beberapa perbedaan detail dalam narasi, inti ceritanya tetap sama: seorang imam yang taat, berdoa untuk keturunan di usia tua, dan mendapatkan mukjizat berupa kelahiran Yahya (Yohanes Pembaptis).
Al-Qur'an menyebutkan kisah Nabi Zakaria di beberapa surah, seperti Surah Ali 'Imran (ayat 37-41), Surah Maryam (ayat 2-15), dan Surah Al-Anbiya (ayat 89-90). Ayat-ayat ini menggambarkan Zakaria sebagai seorang hamba yang "berdoa dengan doa yang lemah lembut," yang doanya dikabulkan oleh Allah. Ia adalah teladan kesabaran, tawakkal (berserah diri), dan keyakinan akan kekuasaan Allah yang tak terbatas. Kisahnya menekankan bahwa Allah mampu melakukan segala sesuatu di luar kebiasaan manusia, dan bahwa doa yang tulus selalu didengar oleh-Nya.
Dalam Islam, Zakaria adalah salah satu dari 25 nabi yang wajib diyakini. Keturunannya, Yahya, juga merupakan nabi yang penting, yang memimpin jalan bagi Isa Al-Masih. Kisah Zakaria juga seringkali dijadikan contoh tentang pentingnya memohon keturunan yang saleh, bukan hanya sekadar keturunan semata.
Dalam Perjanjian Baru Alkitab, khususnya Injil Lukas (pasal 1), kisah Zakharia (nama Zakaria dalam Alkitab) dan istrinya Elisabet diceritakan secara rinci. Zakharia digambarkan sebagai seorang imam dari rombongan Abia, dan Elisabet dari keturunan Harun. Mereka adalah orang-orang benar di hadapan Allah, hidup menurut segala perintah dan ketetapan Tuhan dengan tidak bercacat. Sama seperti dalam Islam, mereka tidak mempunyai anak karena Elisabet mandul dan keduanya sudah lanjut usia.
Mukjizat kelahiran Yohanes Pembaptis (Yahya) kepada mereka adalah bagian integral dari narasi kedatangan Yesus Kristus. Yohanes Pembaptis adalah suara yang berseru-seru di padang gurun, mempersiapkan jalan bagi Tuhan. Kisah Zakharia mengajarkan tentang pentingnya iman, meskipun dalam menghadapi situasi yang mustahil, dan bagaimana Tuhan dapat menggunakan orang-orang yang rendah hati untuk melaksanakan rencana ilahi-Nya yang agung. Nubuat Zakharia setelah lidahnya terlepas, yang dikenal sebagai "Kidung Zakharia" atau "Benedictus," adalah bagian penting dari liturgi Kristen.
Kisah Nabi Zakaria adalah sumur hikmah yang tak pernah kering. Dari setiap aspek kehidupannya, kita dapat menarik pelajaran berharga yang relevan bagi kehidupan modern kita. Ini adalah pengingat bahwa keimanan sejati mampu mengatasi segala rintangan dan bahwa ketetapan Ilahi selalu melampaui perhitungan manusia.
Pelajaran paling menonjol dari kisah Zakaria adalah kekuatan doa dan kesabaran yang tak terbatas. Ia berdoa selama bertahun-tahun, bahkan hingga usia senja, tanpa pernah menyerah. Doanya bukan sekadar ucapan lisan, melainkan manifestasi dari kerinduan hati yang mendalam dan keyakinan teguh bahwa hanya Allah yang mampu mengabulkannya. Kesabaran Zakaria dalam menanti jawaban doa adalah teladan bagi kita semua. Seringkali, manusia terburu-buru menginginkan hasil, namun kisah Zakaria mengajarkan bahwa ada waktu Ilahi untuk setiap perkara, dan bahwa penantian yang disertai doa tulus tidak akan pernah sia-sia.
Doanya yang spesifik, memohon "anak yang baik," menunjukkan bahwa ia tidak hanya menginginkan keturunan fisik, tetapi juga penerus spiritual. Ini mengajarkan kita untuk tidak hanya berdoa untuk keinginan duniawi, tetapi juga untuk keberkahan dan kebaikan yang abadi, baik bagi diri sendiri maupun bagi generasi mendatang.
Zakaria dan istrinya adalah contoh nyata bahwa usia dan kondisi fisik bukanlah penghalang bagi kekuasaan Allah. Dalam pandangan manusia, memiliki anak di usia tua dan dalam kondisi mandul adalah sesuatu yang mustahil. Namun, Zakaria memilih untuk memandang melampaui keterbatasan fisik, berpegang pada keyakinan akan kekuasaan Tuhan yang tak terbatas. Kisah ini mengajarkan kita untuk tidak pernah meremehkan kemampuan Allah dan untuk selalu meletakkan harapan kita pada-Nya, bahkan ketika segala pintu tampak tertutup.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali menghadapi situasi yang terasa tidak mungkin. Baik itu masalah keuangan, kesehatan, atau hubungan, kisah Zakaria menginspirasi kita untuk terus berdoa, terus berusaha, dan tidak pernah kehilangan harapan, karena mukjizat bisa datang kapan saja, dari arah yang tidak disangka-sangka.
Momen ketidakmampuan Zakaria untuk berbicara selama beberapa waktu bukanlah hukuman, melainkan sebuah tanda dan ujian. Itu adalah cara Allah untuk mengukuhkan keyakinan Zakaria dan sekaligus mengisolasi dirinya dari kesibukan duniawi agar ia dapat sepenuhnya merenungkan kebesaran mukjizat yang akan terjadi. Ini adalah pengingat bahwa terkadang, kesulitan atau keterbatasan sementara dapat menjadi berkah terselubung, sebuah momen untuk refleksi mendalam dan pertumbuhan spiritual.
Dalam hidup kita, ketika kita menghadapi hambatan atau saat kita merasa 'terdiam' atau 'terhenti', mungkin itu adalah panggilan untuk berhenti sejenak, merenung, dan menguatkan hubungan kita dengan Sang Pencipta. Ujian seringkali datang dengan hikmah yang mendalam, mempersiapkan kita untuk anugerah yang lebih besar.
Doa Zakaria untuk seorang keturunan yang akan mewarisi risalahnya menunjukkan kesadaran yang tinggi akan pentingnya warisan spiritual. Ia tidak hanya menginginkan seorang anak untuk meneruskan garis keturunan, tetapi seorang anak yang akan meneruskan tugas kenabian dan melayani Tuhan. Ini adalah pelajaran bagi orang tua untuk tidak hanya fokus pada keberhasilan materi anak-anak, tetapi juga pada pembentukan karakter spiritual dan moral mereka.
Melahirkan dan membesarkan anak dengan kesadaran akan tanggung jawab untuk membentuk mereka menjadi individu yang saleh, bermanfaat bagi masyarakat, dan beriman kepada Tuhan adalah salah satu amal jariyah (amal yang pahalanya terus mengalir) yang paling mulia. Nabi Zakaria meneladankan visi jangka panjang ini, yang melampaui kepuasan pribadi.
Kisah Zakaria dan Yahya tidak berdiri sendiri; ia terhubung erat dengan kisah Maryam dan Isa. Ini menunjukkan bagaimana rencana Ilahi terjalin dengan sempurna, di mana satu peristiwa menjadi fondasi atau jembatan bagi peristiwa besar berikutnya. Kelahiran Yahya adalah mukjizat yang mempersiapkan hati manusia untuk menerima mukjizat yang lebih besar, yaitu kelahiran Isa tanpa ayah.
Pelajaran ini mengajarkan kita untuk melihat gambaran besar dalam hidup. Terkadang, peristiwa-peristiwa kecil atau yang tampaknya tidak signifikan dalam hidup kita adalah bagian dari rencana Ilahi yang lebih besar, yang akan mengarah pada sesuatu yang monumental di masa depan. Kepercayaan pada "rencana besar" ini dapat memberikan ketenangan dan makna dalam setiap langkah perjalanan hidup.
Sepanjang hidupnya, Nabi Zakaria adalah teladan kesalehan dan integritas. Sebagai seorang imam, ia memikul tanggung jawab yang besar dengan penuh dedikasi. Ia adalah seorang yang "berjalan di jalan yang lurus" dan tidak pernah menyimpang dari perintah Tuhan. Ini adalah pengingat bagi kita semua tentang pentingnya hidup dengan prinsip, moral, dan etika yang kuat, tidak peduli apa pun profesi atau posisi kita dalam masyarakat.
Integritas tidak hanya terlihat dalam ibadah ritual, tetapi juga dalam interaksi sehari-hari, kejujuran, keadilan, dan kasih sayang terhadap sesama. Nabi Zakaria mewarisi nilai-nilai ini dan mengajarkannya melalui teladan hidupnya.
Warisan Nabi Zakaria, meskipun mungkin tidak sepopuler nabi-nabi besar lainnya seperti Ibrahim, Musa, atau Muhammad, memiliki dampak yang sangat mendalam dan abadi dalam tradisi keagamaan. Kisahnya terus menerus diceritakan dan direnungkan oleh jutaan orang di seluruh dunia, memberikan inspirasi dan pengajaran yang tak ternilai harganya.
Bagi umat Islam dan Kristen, Nabi Zakaria adalah simbol harapan, ketekunan, dan iman yang tak tergoyahkan. Kisahnya menjadi pengingat bahwa tidak ada yang mustahil bagi Tuhan, dan bahwa doa yang tulus selalu didengar. Ia menginspirasi orang-orang yang menghadapi kesulitan dalam memiliki anak, menyemangati mereka untuk terus berdoa dan tidak putus asa. Lebih luas lagi, ia menjadi inspirasi bagi siapa pun yang menghadapi "kemustahilan" dalam hidup mereka, mengajarkan bahwa keajaiban bisa terjadi ketika manusia berserah diri sepenuhnya kepada kehendak Ilahi.
Kelahiran Yahya adalah bukti nyata mukjizat penciptaan dari ketiadaan atau dari kondisi yang tidak memungkinkan secara biologis. Ini memperkuat konsep bahwa Tuhan adalah pencipta yang mutlak dan tidak terikat oleh hukum alam yang Dia sendiri ciptakan. Dalam konteks Islam, ini seringkali dijadikan dalil untuk mukjizat-mukjizat lain, termasuk penciptaan Adam tanpa ayah dan ibu, dan penciptaan Isa tanpa ayah. Kisah Zakaria menjadi landasan teologis yang penting untuk memahami kebesaran dan kemahakuasaan Tuhan.
Nabi Zakaria berperan sebagai mata rantai penting dalam silsilah kenabian. Melalui putranya, Yahya, ia menghubungkan periode para nabi sebelum Isa dengan masa kedatangan Isa Al-Masih. Ini menunjukkan kontinuitas pesan Ilahi dan bagaimana setiap nabi memiliki peran unik dalam rencana keselamatan yang lebih besar. Kisahnya membantu kita memahami interkonektivitas para nabi dan kesatuan pesan tauhid yang mereka sampaikan.
Kisah Nabi Zakaria dan keluarganya telah menjadi subjek inspirasi bagi banyak karya seni, sastra, dan musik sepanjang sejarah. Dari manuskrip kuno yang dihias, lukisan-lukisan ikonik di gereja-gereja, hingga puisi dan lagu-lagu modern, kisah tentang iman, penantian, dan mukjizat ini terus diinterpretasikan dan diabadikan dalam berbagai bentuk budaya. Keindahan dan kekuatan narasinya menjadikannya tema abadi yang melintasi batas waktu dan budaya.
Kisah Nabi Zakaria adalah permata berharga dalam khazanah spiritual umat manusia. Ia adalah narasi tentang seorang hamba Allah yang saleh, yang menghadapi ujian berat berupa kemandulan di usia tua, namun tidak pernah berhenti berdoa dan berharap kepada Tuhannya. Mukjizat kelahiran putranya, Yahya, adalah bukti nyata kekuasaan Allah yang tak terbatas, yang mampu mengubah kemustahilan menjadi kenyataan.
Melalui kisah Nabi Zakaria, kita diajarkan tentang pentingnya kesabaran dalam menghadapi cobaan, ketekunan dalam memanjatkan doa, dan keyakinan teguh pada kekuasaan Ilahi yang melampaui segala akal. Ia juga meneladankan pentingnya sebuah warisan spiritual, tentang memohon keturunan yang akan meneruskan risalah kebaikan dan kebenaran. Kisahnya adalah pengingat abadi bahwa Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui, dan Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan bahwa dengan iman yang tulus, bahkan di tengah keputusasaan terdalam, harapan dan mukjizat selalu mungkin terjadi.
Semoga kisah Nabi Zakaria senantiasa menginspirasi kita untuk menjadi pribadi yang lebih sabar, lebih gigih dalam berdoa, dan lebih teguh dalam beriman kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.