Zakat Penghasilan: Panduan Lengkap dan Hukumnya dalam Islam
Zakat, sebagai salah satu dari lima rukun Islam, memegang peranan fundamental dalam sistem ekonomi dan sosial umat Muslim. Ia bukan sekadar bentuk sedekah atau sumbangan, melainkan sebuah kewajiban agama yang diatur secara rinci dalam syariat Islam, bertujuan untuk membersihkan harta dan mendistribusikan kekayaan kepada mereka yang berhak. Dari berbagai jenis zakat yang ada, seperti zakat fitrah, zakat mal (kekayaan), zakat pertanian, hingga zakat perdagangan, zakat penghasilan atau yang juga dikenal sebagai zakat profesi, menjadi topik yang semakin relevan dan penting di era modern ini. Dengan dinamika ekonomi yang terus berkembang, sebagian besar umat Muslim kini memperoleh kekayaan mereka dalam bentuk gaji, upah, honorarium, atau pendapatan profesional lainnya, yang menuntut pemahaman mendalam tentang bagaimana kewajiban zakat ini diterapkan pada jenis-jenis penghasilan tersebut.
Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk zakat penghasilan, mulai dari dasar hukumnya dalam Al-Qur'an dan Sunnah, definisi yang komprehensif, cara perhitungan nisab dan haul, hingga tarif yang harus dikeluarkan. Kita juga akan menelaah berbagai pendapat ulama mengenai penerapan zakat ini, memahami hikmah dan manfaatnya bagi individu maupun masyarakat, serta menjawab pertanyaan-pertanyaan umum yang sering muncul seputar zakat penghasilan. Tujuan utama dari panduan ini adalah memberikan pemahaman yang jelas dan praktis agar setiap Muslim dapat menunaikan kewajiban zakat penghasilan mereka dengan benar, sesuai dengan tuntunan syariat, sekaligus turut serta dalam membangun keadilan sosial dan ekonomi umat.
1. Pengertian Zakat Penghasilan
Zakat penghasilan, yang sering juga disebut zakat profesi atau zakat pendapatan, adalah bagian dari harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang Muslim dari penghasilan yang diperolehnya, baik itu gaji, honorarium, upah, jasa, atau pendapatan lain yang sejenis, apabila telah mencapai nisab dan haulnya. Konsep ini muncul sebagai respons terhadap bentuk-bentuk penghasilan modern yang tidak ada pada masa Nabi Muhammad SAW, namun esensinya tetap mengacu pada prinsip-prinsip umum zakat dalam Islam.
Secara bahasa, 'zakat' berarti suci, bersih, tumbuh, dan berkah. Dengan menunaikan zakat, harta seseorang menjadi suci, bersih dari hak orang lain, dan diharapkan dapat tumbuh serta mendatangkan keberkahan. Adapun 'penghasilan' merujuk pada segala bentuk pendapatan yang diterima seseorang sebagai imbalan atas pekerjaan, keahlian, atau jasa yang diberikan.
Zakat penghasilan ini berbeda dengan zakat perdagangan atau zakat pertanian yang memiliki nisab dan haul yang spesifik. Zakat penghasilan mencoba mengadaptasi prinsip zakat pada kekayaan produktif yang dihasilkan dari sumber non-pertanian dan non-perdagangan, yang kini menjadi sumber utama pendapatan bagi banyak individu. Para ulama kontemporer berijtihad untuk menerapkan kewajiban zakat ini agar prinsip pemerataan kekayaan dan dukungan terhadap fakir miskin tetap relevan dalam konteks ekonomi modern.
Definisi ini mencakup berbagai jenis pendapatan, termasuk:
- Gaji dan Upah: Pendapatan tetap bulanan atau mingguan dari pekerjaan sebagai karyawan.
- Honorarium: Pembayaran atas jasa profesional, seperti dokter, pengacara, konsultan, penulis, dll.
- Pendapatan Lepas (Freelance): Pendapatan dari pekerjaan yang tidak terikat kontrak jangka panjang dengan satu perusahaan.
- Bonus dan Tunjangan: Pembayaran tambahan di luar gaji pokok.
- Pendapatan dari Keahlian atau Profesi: Misal, hasil praktik dokter, notaris, akuntan, insinyur.
- Pendapatan Lain-lain: Misalnya royalti dari karya tulis, pendapatan dari sewa properti jika itu adalah profesi utama, dll.
Penting untuk dicatat bahwa zakat penghasilan ini tidak menggantikan zakat mal (zakat kekayaan) yang lain. Jika seseorang memiliki tabungan, investasi, atau harta lain yang mencapai nisab dan haulnya, maka ia tetap wajib menunaikan zakat mal atas harta tersebut secara terpisah.
2. Dasar Hukum Zakat Penghasilan
Meskipun zakat penghasilan tidak disebutkan secara eksplisit dalam nash Al-Qur'an atau hadis Nabi Muhammad SAW dengan istilah 'zakat penghasilan' atau 'zakat profesi', namun para ulama kontemporer merujuk pada dalil-dalil umum tentang kewajiban zakat serta prinsip-prinsip syariat dalam menentukannya. Argumentasi utama didasarkan pada analogi (qiyas) dan semangat umum ajaran Islam tentang keadilan sosial dan distribusi kekayaan.
2.1. Dalil dari Al-Qur'an
Beberapa ayat Al-Qur'an yang menjadi landasan umum zakat penghasilan antara lain:
-
Surah Al-Baqarah ayat 267:
"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu..." (QS. Al-Baqarah: 267)
Ayat ini secara eksplisit memerintahkan untuk menafkahkan sebagian dari "hasil usaha yang baik-baik" (min thayyibati ma kasabtum). Para ulama modern menafsirkan "hasil usaha" ini mencakup segala bentuk pendapatan atau penghasilan yang diperoleh melalui pekerjaan atau profesi. Kata "kasabtum" (usaha/pekerjaan) memiliki makna luas yang mencakup segala bentuk perolehan harta melalui jerih payah manusia.
-
Surah Adz-Dzariyat ayat 19:
"Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian." (QS. Adz-Dzariyat: 19)
Ayat ini menegaskan bahwa dalam setiap harta yang dimiliki oleh seorang Muslim terdapat hak bagi fakir miskin. Ini adalah prinsip umum yang mendasari seluruh kewajiban zakat, termasuk zakat penghasilan. Implikasi dari ayat ini adalah bahwa harta yang diperoleh, termasuk dari penghasilan, tidak sepenuhnya menjadi milik pribadi, melainkan sebagian darinya adalah hak bagi golongan yang membutuhkan.
-
Surah At-Taubah ayat 103:
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. At-Taubah: 103)
Ayat ini adalah perintah langsung kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengambil zakat dari harta umatnya, dengan tujuan membersihkan dan menyucikan mereka. Meskipun tidak spesifik zakat penghasilan, namun konteksnya menunjukkan universalitas perintah zakat terhadap segala bentuk harta yang memenuhi kriteria.
2.2. Dalil dari Hadis Nabi SAW
Hadis-hadis yang menjadi rujukan umumnya bersifat umum tentang pentingnya zakat dan sedekah, serta beberapa hadis yang dijadikan dasar qiyas:
-
Hadis Mu'adz bin Jabal: Ketika Nabi Muhammad SAW mengutus Mu'adz ke Yaman, beliau bersabda:
"Beritahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas harta mereka, yang diambil dari orang kaya mereka dan diberikan kepada orang fakir di antara mereka." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa prinsip zakat adalah pengambilan dari orang kaya untuk diberikan kepada orang miskin, yang berlaku secara umum pada segala bentuk kekayaan yang memenuhi syarat, termasuk penghasilan.
-
Hadis tentang Zakat Hasil Pertanian:
"Pada tanaman yang diairi hujan atau mata air atau air tadah hujan, zakatnya sepersepuluh (10%), sedangkan pada tanaman yang diairi dengan irigasi (menggunakan tenaga manusia atau hewan), zakatnya seperduapuluh (5%)." (HR. Bukhari)
Meskipun secara spesifik berbicara tentang zakat pertanian, hadis ini menjadi dasar analogi penting. Para ulama berpendapat bahwa jika hasil bumi yang diperoleh tanpa banyak usaha (hujan) dikenakan 10%, dan yang dengan usaha (irigasi) dikenakan 5%, maka penghasilan yang didapat dari usaha (profesi) juga selayaknya dikenakan zakat. Dari sini muncul angka 2.5% sebagai nisab yang diqiyaskan pada zakat emas dan perak, atau bahkan beberapa ulama mengqiyaskannya pada zakat pertanian yang 5% atau 10% tergantung jenis usaha.
2.3. Ijma' (Konsensus Ulama) dan Qiyas (Analogi)
Sejak abad ke-20, Majelis-majelis Fikih Islam dan para ulama kontemporer telah banyak membahas tentang zakat penghasilan. Tidak ada ijma' (konsensus) bulat di antara ulama klasik karena bentuk penghasilan ini belum umum pada zaman mereka. Namun, di era modern, mayoritas ulama dan lembaga fatwa telah mengeluarkan keputusan yang mewajibkan zakat penghasilan. Beberapa di antaranya adalah:
- Fatwa Majma' Al-Fiqhi Al-Islami (OKI): Pada tahun 1988, organisasi ini mengeluarkan fatwa yang menganjurkan zakat penghasilan, dengan mengqiyaskannya pada zakat pertanian atau zakat emas/perak.
- Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI): Di Indonesia, DSN-MUI telah mengeluarkan fatwa Nomor 03/DSN-MUI/IV/2000 tentang Zakat Penghasilan yang mewajibkannya.
- Yusuf Al-Qardhawi: Salah satu ulama kontemporer terkemuka yang sangat gencar menyuarakan kewajiban zakat penghasilan melalui karyanya Fiqh Az-Zakat. Beliau mengqiyaskan zakat penghasilan dengan zakat pertanian, sehingga dikeluarkan saat menerima pendapatan (tidak menunggu haul) dan nisabnya sama dengan nisab zakat pertanian. Namun, sebagian ulama lain lebih memilih mengqiyaskan dengan zakat emas/perak yang membutuhkan haul.
Qiyas utama yang digunakan adalah dengan zakat emas dan perak, atau zakat perdagangan, atau zakat pertanian. Intinya, jika harta produktif lainnya dikenai zakat, maka penghasilan sebagai harta produktif hasil usaha manusia juga wajib dikenakan zakat. Kebanyakan ulama cenderung mengqiyaskan pada zakat emas dan perak untuk nisab dan tarifnya (2.5%), namun ada perbedaan pandangan terkait haul (apakah langsung dikeluarkan saat menerima atau setelah genap setahun terkumpul).
Berdasarkan dalil-dalil dan ijtihad ulama kontemporer ini, dapat disimpulkan bahwa zakat penghasilan memiliki dasar yang kuat dalam syariat Islam, meskipun memerlukan penafsiran dan adaptasi terhadap bentuk-bentuk kekayaan modern. Kewajibannya adalah untuk memastikan bahwa prinsip keadilan sosial dan penopang fakir miskin tetap berjalan di setiap zaman.
3. Nisab Zakat Penghasilan
Nisab adalah batas minimal jumlah harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Jika harta yang dimiliki seseorang belum mencapai nisab, maka ia tidak wajib mengeluarkan zakat. Penetapan nisab untuk zakat penghasilan menjadi salah satu aspek yang paling banyak dibahas dan memiliki beberapa pandangan di kalangan ulama kontemporer.
3.1. Nisab Berdasarkan Emas dan Perak
Pendapat yang paling populer dan banyak diikuti di Indonesia, khususnya oleh Dewan Syariah Nasional MUI, adalah mengqiyaskan (menganalogikan) nisab zakat penghasilan dengan nisab zakat emas atau perak. Nisab zakat emas adalah setara dengan 85 gram emas murni, sedangkan nisab zakat perak adalah setara dengan 595 gram perak murni.
Mengapa emas atau perak? Karena pada masa Nabi SAW, emas dan perak adalah mata uang atau standar kekayaan yang paling umum digunakan. Ketika pendapatan modern seperti gaji atau honorarium muncul, tidak ada standar nisab khusus. Oleh karena itu, para ulama berijtihad untuk mengukur nisab penghasilan ini dengan standar kekayaan yang sudah ada.
Saat ini, standar yang paling sering digunakan adalah nisab emas karena nilai perak yang jauh lebih rendah dan fluktuatif, sehingga nisab perak menjadi sangat mudah tercapai. Dengan menggunakan nisab emas, jumlah harta yang wajib dizakati menjadi lebih rasional dan proporsional terhadap kemampuan ekonomi masyarakat menengah ke atas.
Cara Menghitung Nisab Emas:
Nisab = 85 gram x harga emas per gram pada hari itu.
Misalnya, jika harga emas per gram adalah Rp 1.000.000, maka nisab zakat penghasilan adalah 85 x Rp 1.000.000 = Rp 85.000.000 per tahun. Atau jika dihitung bulanan, nisab bulanan adalah Rp 85.000.000 / 12 bulan = Rp 7.083.333,33.
Ini berarti, jika total penghasilan kotor seseorang dalam setahun mencapai atau melebihi Rp 85.000.000 (setelah dikurangi kebutuhan pokok atau tanggungan tertentu, tergantung metode perhitungan), maka ia wajib mengeluarkan zakat.
3.2. Nisab Berdasarkan Zakat Pertanian
Sebagian ulama, seperti Syekh Yusuf Al-Qardhawi, berpendapat bahwa zakat penghasilan sebaiknya diqiyaskan dengan zakat hasil pertanian, yaitu pada saat panen atau saat pendapatan diterima (tidak perlu menunggu haul). Nisab zakat pertanian adalah 5 wasaq, setara dengan 653 kg gabah kering atau 520 kg beras. Jika diuangkan, maka nisabnya adalah nilai dari 520 kg beras pada harga pasar. Tarif zakatnya pun bisa 5% atau 10% tergantung apakah ada 'biaya irigasi' (biaya hidup/profesi). Namun, pandangan ini kurang populer di Indonesia untuk zakat penghasilan karena dinilai memiliki kompleksitas dalam penentuan nisab yang fluktuatif (harga beras) dan tarif yang bervariasi.
3.3. Penentuan Nisab yang Praktis
Untuk kemudahan dan keseragaman, lembaga-lembaga amil zakat di Indonesia umumnya merujuk pada nisab emas 85 gram. Harga emas ini dapat berubah setiap hari, sehingga lembaga zakat biasanya mengeluarkan angka nisab bulanan yang diperbarui secara berkala, atau mengacu pada harga emas rata-rata. Penting bagi muzaki (pembayar zakat) untuk mengetahui harga emas terkini dari sumber yang terpercaya (misalnya, harga emas Antam) untuk menghitung nisab secara akurat.
Contoh Nisab Bulanan:
Jika nisab tahunan adalah Rp 85.000.000 (85 gram emas), maka nisab bulanan adalah Rp 85.000.000 / 12 = sekitar Rp 7.083.333.
Jadi, jika penghasilan bersih bulanan Anda (setelah dikurangi pengeluaran pokok yang diperbolehkan) mencapai atau melebihi angka tersebut, Anda wajib mengeluarkan zakat.
Pentingnya Memahami Nisab:
- Nisab adalah filter pertama. Jika penghasilan Anda di bawah nisab, Anda belum wajib berzakat penghasilan.
- Nisab mendorong pemerataan. Zakat hanya diambil dari mereka yang secara finansial mampu dan tidak memberatkan mereka yang berpenghasilan rendah.
- Nisab membantu menentukan kapan kewajiban zakat dimulai.
Maka, langkah pertama dalam menunaikan zakat penghasilan adalah membandingkan total penghasilan dengan nilai nisab yang berlaku saat ini.
4. Haul Zakat Penghasilan
Haul adalah batas waktu satu tahun hijriah yang menjadi syarat wajib zakat untuk jenis harta tertentu. Artinya, harta tersebut harus dimiliki selama satu tahun penuh dan memenuhi nisab untuk bisa dizakati. Namun, untuk zakat penghasilan, konsep haul ini menjadi salah satu perbedaan pendapat yang signifikan di kalangan ulama kontemporer.
4.1. Dua Pendapat Utama tentang Haul Zakat Penghasilan
Secara garis besar, ada dua pandangan utama mengenai penerapan haul untuk zakat penghasilan:
4.1.1. Pendapat Pertama: Zakat Dikeluarkan Setiap Kali Menerima Penghasilan (Tanpa Haul)
Pendapat ini dianut oleh sebagian ulama, termasuk Syekh Yusuf Al-Qardhawi. Mereka berargumen bahwa penghasilan adalah harta yang datang secara periodik dan terus-menerus, mirip dengan hasil panen pertanian. Dalil yang digunakan adalah firman Allah SWT:
"...dan tunaikanlah haknya pada hari memanennya (hasilnya)..." (QS. Al-An'am: 141)
Menurut pendapat ini, zakat penghasilan dikeluarkan segera setelah penghasilan diterima, asalkan penghasilan tersebut secara akumulatif telah mencapai nisab emas (85 gram) dalam satu tahun berjalan, atau nisab dari setiap penerimaan itu sendiri jika memang sangat besar. Namun, jika diqiyaskan pada pertanian, mereka berpendapat bahwa setiap kali menerima penghasilan, jika jumlahnya mencapai nisab (yang dihitung per pendapatan, bukan akumulatif tahunan), maka zakat langsung dikeluarkan.
Kelebihan Pendapat Ini:
- Penyaluran zakat kepada mustahik menjadi lebih cepat dan berkelanjutan.
- Lebih sesuai dengan semangat Al-Qur'an untuk segera menunaikan hak fakir miskin.
- Memudahkan bagi orang yang penghasilannya habis setiap bulan untuk kebutuhan pokok, karena tidak perlu menunggu dana mengendap selama setahun.
Kekurangan Pendapat Ini:
- Bagi sebagian orang, jika nisab dihitung per penerimaan (misalnya bulanan), mungkin sulit mencapai nisab.
- Berpotensi memberatkan jika harus menghitung dan mengeluarkan zakat setiap kali menerima penghasilan kecil.
4.1.2. Pendapat Kedua: Zakat Dikeluarkan Setelah Mencapai Haul (Setahun)
Ini adalah pandangan mayoritas ulama dan lembaga zakat di Indonesia (termasuk DSN-MUI). Mereka mengqiyaskan zakat penghasilan dengan zakat mal (kekayaan) secara umum, seperti zakat emas, perak, atau uang simpanan. Artinya, penghasilan yang diterima harus diakumulasikan selama satu tahun, dan jika setelah dikurangi kebutuhan pokok dan utang, sisa penghasilan yang disimpan atau diinvestasikan telah mencapai nisab emas (85 gram) dan telah genap setahun (haul), barulah wajib dikeluarkan zakatnya.
Dalam praktiknya, metode ini sering diinterpretasikan menjadi dua cara:
-
Metode Langsung (Kanal Fari'ah/Saluran Cabang): Ini adalah cara yang paling sering diterapkan oleh LAZ. Zakat dikeluarkan setiap bulan dari penghasilan kotor atau bersih, dengan asumsi bahwa total penghasilan dalam setahun akan mencapai nisab. Kewajiban zakat dianggap "dipercepat" (ta'jil az-zakah). Jika seseorang berpenghasilan rutin di atas nisab bulanan (nisab tahunan dibagi 12), ia langsung mengeluarkan 2.5% setiap bulan.
Nisab bulanan = (Harga 85 gram emas) / 12.
Jika penghasilan bulanan (setelah dikurangi pengeluaran primer/kebutuhan pokok) mencapai nisab bulanan tersebut, maka zakat 2.5% dikeluarkan. Jika dalam setahun ternyata total akumulasi tidak mencapai nisab, maka kelebihan yang sudah dibayarkan dianggap sedekah.
-
Metode Tabungan (Kanal Ashliyah/Saluran Pokok): Zakat dikeluarkan dari sisa penghasilan yang ditabung atau diinvestasikan setelah dikurangi kebutuhan pokok, utang, dan pengeluaran rutin. Jika tabungan ini telah mencapai nisab emas (85 gram) dan mengendap selama satu tahun penuh (haul), barulah zakatnya dikeluarkan 2.5% dari total tabungan tersebut. Ini lebih sesuai dengan konsep zakat mal secara umum.
Kelebihan Pendapat Kedua (Metode Langsung bulanan):
- Lebih praktis dan mudah bagi karyawan yang berpenghasilan tetap.
- Tidak memberatkan karena pembayaran dicicil setiap bulan.
- Menjamin distribusi zakat yang stabil setiap bulannya.
Kekurangan Pendapat Ini:
- Bisa jadi seseorang mengeluarkan zakat setiap bulan, tetapi pada akhir tahun, total penghasilan bersihnya setelah kebutuhan pokok ternyata tidak mencapai nisab tahunan. Namun, hal ini bisa diatasi dengan niat zakat yang disesuaikan atau dianggap sebagai sedekah sunnah.
4.2. Kesimpulan tentang Haul
Mengingat kemudahan dan kemaslahatan, metode zakat penghasilan yang dikeluarkan setiap bulan (sebagai percepatan pembayaran zakat tahunan) setelah penghasilan bersih bulanan mencapai nisab bulanan (setara 1/12 nisab emas tahunan) adalah yang paling sering direkomendasikan dan dipraktikkan oleh lembaga amil zakat di Indonesia. Ini merupakan bentuk ta'jil az-zakah (menyegerakan zakat) yang diperbolehkan dalam Islam, asalkan nisab diperkirakan akan tercapai dalam setahun.
Jadi, meskipun secara teori zakat mal memerlukan haul, zakat penghasilan dengan metode bulanan mengadopsi prinsip percepatan untuk menjaga keberlangsungan distribusi zakat dan memudahkan muzaki.
5. Tarif Zakat Penghasilan
Setelah memahami pengertian, dasar hukum, nisab, dan haul, langkah selanjutnya adalah mengetahui berapa besar tarif zakat yang wajib dikeluarkan. Dalam konteks zakat penghasilan, tarif yang paling umum dan banyak disepakati adalah 2.5%.
5.1. Dasar Penentuan Tarif 2.5%
Tarif 2.5% ini diqiyaskan (dianalogikan) pada tarif zakat emas dan perak. Mengapa demikian?
-
Kemudahan dan Keseragaman: Tarif zakat emas dan perak (2.5%) adalah tarif yang sudah baku dan dikenal luas dalam fiqih Islam untuk jenis harta simpanan atau kekayaan yang produktif. Menggunakan tarif ini untuk zakat penghasilan menciptakan keseragaman dan memudahkan penghitungan.
-
Kekayaan Produktif: Penghasilan dianggap sebagai kekayaan yang terus-menerus produktif dan berkembang dari waktu ke waktu melalui usaha dan pekerjaan. Dalam banyak aspek, ia mirip dengan perolehan harta dari perdagangan yang juga dikenakan 2.5%.
-
Keadilan: Tarif 2.5% dianggap adil, tidak terlalu memberatkan bagi muzaki, namun cukup signifikan untuk membantu golongan mustahik. Ini juga sejalan dengan semangat zakat untuk tidak memberatkan pemilik harta.
Meskipun ada ulama yang mencoba mengqiyaskan dengan zakat pertanian (yang tarifnya bisa 5% atau 10% tergantung biaya irigasi), mayoritas ulama dan lembaga fatwa memilih tarif 2.5% karena dianggap lebih sesuai dengan karakteristik penghasilan yang umumnya memerlukan usaha dan biaya hidup yang signifikan.
5.2. Cara Penerapan Tarif
Tarif 2.5% ini dikenakan pada penghasilan yang telah memenuhi nisab. Ada dua pendekatan utama dalam menghitung basis penghasilan yang dikenai zakat:
5.2.1. Dari Penghasilan Bruto (Kotor)
Sebagian ulama berpendapat zakat dikeluarkan dari penghasilan bruto (kotor) sebelum dikurangi biaya kebutuhan pokok atau utang. Pandangan ini cenderung pada semangat 'segera mengeluarkan hak fakir miskin' dan 'membersihkan harta sejak awal'. Mereka mengqiyaskan dengan zakat pertanian yang dikeluarkan dari hasil panen kotor (meskipun ada perbedaan detail).
Contoh Perhitungan (Metode Bruto):
Jika penghasilan bulanan Anda Rp 10.000.000 dan nisab bulanan adalah Rp 7.083.333, maka zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2.5% x Rp 10.000.000 = Rp 250.000.
5.2.2. Dari Penghasilan Netto (Bersih)
Ini adalah pandangan yang lebih banyak dianut dan dipraktikkan oleh lembaga zakat, termasuk DSN-MUI. Zakat dikeluarkan dari penghasilan bersih setelah dikurangi pengeluaran untuk kebutuhan pokok (primer) dan utang yang mendesak. Alasannya adalah zakat hanya diwajibkan bagi mereka yang memiliki kelebihan harta setelah kebutuhan dasarnya terpenuhi. Ini lebih mendekati semangat zakat mal yang mempertimbangkan 'sisa' harta yang dimiliki.
Pengeluaran yang Boleh Dikurangkan (Kebutuhan Pokok):
Kebutuhan pokok meliputi sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, transportasi dasar, dan kewajiban keluarga yang wajar (nafkah istri dan anak). Pengeluaran untuk gaya hidup mewah atau konsumtif tidak termasuk dalam kategori ini. Utang yang sifatnya mendesak dan harus dibayar juga boleh dikurangkan.
Contoh Perhitungan (Metode Netto):
- Penghasilan Bruto per bulan: Rp 10.000.000
- Pengeluaran Kebutuhan Pokok per bulan (makan, sewa/cicilan rumah, listrik, air, transportasi, pendidikan anak, kesehatan): Rp 6.000.000
- Penghasilan Bersih: Rp 10.000.000 - Rp 6.000.000 = Rp 4.000.000
- Nisab Bulanan (asumsi): Rp 7.083.333
Dalam contoh ini, penghasilan bersih (Rp 4.000.000) masih di bawah nisab bulanan (Rp 7.083.333). Oleh karena itu, orang tersebut belum wajib mengeluarkan zakat penghasilan. Namun, jika ia ingin bersedekah, itu sangat dianjurkan.
Contoh Lain (Metode Netto, Wajib Zakat):
- Penghasilan Bruto per bulan: Rp 15.000.000
- Pengeluaran Kebutuhan Pokok per bulan: Rp 6.000.000
- Penghasilan Bersih: Rp 15.000.000 - Rp 6.000.000 = Rp 9.000.000
- Nisab Bulanan (asumsi): Rp 7.083.333
Dalam contoh ini, penghasilan bersih (Rp 9.000.000) sudah di atas nisab bulanan (Rp 7.083.333). Maka, zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2.5% x Rp 9.000.000 = Rp 225.000.
Metode netto ini dianggap lebih adil dan mempertimbangkan kondisi riil ekonomi muzaki, memastikan bahwa zakat hanya diambil dari kelebihan harta setelah memenuhi kebutuhan dasar yang layak.
6. Cara Perhitungan Zakat Penghasilan
Untuk memudahkan pemahaman, mari kita rangkum langkah-langkah dan contoh perhitungan zakat penghasilan dengan menggunakan metode yang paling umum diterapkan di Indonesia, yaitu menggunakan nisab setara 85 gram emas dan perhitungan bulanan dari penghasilan bersih.
6.1. Langkah-langkah Perhitungan
-
Tentukan Nilai Nisab Tahunan
Cari harga emas murni (24 karat) per gram saat ini dari sumber terpercaya (misalnya, Antam). Kalikan dengan 85 gram. Ini adalah nisab tahunan Anda.
Contoh: Harga emas = Rp 1.100.000/gram.
Nisab Tahunan = 85 gram x Rp 1.100.000 = Rp 93.500.000. -
Tentukan Nilai Nisab Bulanan
Bagi nisab tahunan dengan 12 bulan.
Contoh: Nisab Bulanan = Rp 93.500.000 / 12 = Rp 7.791.666,67.
Ini adalah ambang batas penghasilan bersih bulanan Anda untuk wajib zakat.
-
Hitung Penghasilan Bruto Bulanan
Jumlahkan semua pendapatan yang Anda terima dalam satu bulan (gaji pokok, tunjangan, bonus, honorarium, dll.) sebelum dipotong pajak atau iuran lainnya.
Contoh: Penghasilan Bruto Bulanan = Rp 16.000.000.
-
Hitung Pengeluaran Kebutuhan Pokok Bulanan
Jumlahkan pengeluaran untuk kebutuhan primer Anda dan keluarga (makan, minum, sandang, sewa/cicilan tempat tinggal, listrik, air, transportasi dasar, pendidikan anak, kesehatan, utang yang wajib dibayar bulanan).
Penting: Pengeluaran konsumtif (liburan mewah, hobi mahal, belanja tidak perlu) tidak termasuk. Utang yang bersifat produktif (misal: utang modal usaha) umumnya tidak mengurangi penghasilan bersih untuk zakat, namun utang konsumtif mendesak boleh dikurangi.
Contoh: Pengeluaran Kebutuhan Pokok Bulanan = Rp 7.500.000.
-
Hitung Penghasilan Bersih Bulanan
Kurangkan pengeluaran kebutuhan pokok dari penghasilan bruto.
Contoh: Penghasilan Bersih = Rp 16.000.000 - Rp 7.500.000 = Rp 8.500.000.
-
Bandingkan Penghasilan Bersih dengan Nisab Bulanan
Jika Penghasilan Bersih ≥ Nisab Bulanan, maka Anda wajib berzakat.
Contoh: Penghasilan Bersih (Rp 8.500.000) > Nisab Bulanan (Rp 7.791.666,67).
Karena penghasilan bersih melebihi nisab, maka wajib zakat.
-
Hitung Zakat yang Wajib Dikeluarkan
Kalikan penghasilan bersih yang mencapai nisab dengan tarif zakat 2.5%.
Contoh: Zakat = 2.5% x Rp 8.500.000 = Rp 212.500.
6.2. Contoh Kasus Lengkap
Seorang karyawan bernama Budi memiliki rincian penghasilan dan pengeluaran sebagai berikut:
- Gaji pokok bulanan: Rp 12.000.000
- Tunjangan kinerja: Rp 2.000.000
- Tunjangan transportasi: Rp 500.000
- Total Penghasilan Bruto Bulanan: Rp 14.500.000
- Cicilan KPR (pokok dan bunga): Rp 3.000.000
- Biaya makan dan kebutuhan dapur: Rp 3.500.000
- Tagihan listrik, air, internet: Rp 1.000.000
- Biaya pendidikan anak: Rp 1.500.000
- Transportasi dan komunikasi: Rp 500.000
- Total Pengeluaran Kebutuhan Pokok Bulanan: Rp 9.500.000
Harga emas saat ini diasumsikan Rp 1.100.000/gram.
- Nisab Tahunan: 85 gram x Rp 1.100.000 = Rp 93.500.000
- Nisab Bulanan: Rp 93.500.000 / 12 = Rp 7.791.666,67
- Penghasilan Bruto Bulanan: Rp 14.500.000
- Pengeluaran Kebutuhan Pokok Bulanan: Rp 9.500.000
- Penghasilan Bersih Bulanan: Rp 14.500.000 - Rp 9.500.000 = Rp 5.000.000
- Perbandingan dengan Nisab: Rp 5.000.000 (Penghasilan Bersih) < Rp 7.791.666,67 (Nisab Bulanan).
Kesimpulan: Budi belum wajib mengeluarkan zakat penghasilan bulan ini, karena penghasilan bersihnya setelah dikurangi kebutuhan pokok masih di bawah nisab. Namun, jika ia ingin bersedekah, itu sangat dianjurkan.
6.3. Contoh Kasus Lain (Wajib Zakat)
Seorang profesional freelancer bernama Dian memiliki rincian penghasilan dan pengeluaran sebagai berikut:
- Pendapatan dari proyek A: Rp 10.000.000
- Pendapatan dari proyek B: Rp 8.000.000
- Total Penghasilan Bruto Bulanan (akumulatif): Rp 18.000.000
- Biaya operasional kerja (internet, software, listrik kantor): Rp 1.500.000
- Biaya makan dan kebutuhan pribadi: Rp 3.000.000
- Sewa apartemen: Rp 2.500.000
- Premi asuransi kesehatan: Rp 500.000
- Total Pengeluaran Kebutuhan Pokok Bulanan: Rp 7.500.000
Harga emas saat ini diasumsikan Rp 1.100.000/gram.
- Nisab Tahunan: 85 gram x Rp 1.100.000 = Rp 93.500.000
- Nisab Bulanan: Rp 93.500.000 / 12 = Rp 7.791.666,67
- Penghasilan Bruto Bulanan: Rp 18.000.000
- Pengeluaran Kebutuhan Pokok Bulanan: Rp 7.500.000
- Penghasilan Bersih Bulanan: Rp 18.000.000 - Rp 7.500.000 = Rp 10.500.000
- Perbandingan dengan Nisab: Rp 10.500.000 (Penghasilan Bersih) > Rp 7.791.666,67 (Nisab Bulanan).
Kesimpulan: Dian wajib mengeluarkan zakat penghasilan bulan ini.
Zakat yang Wajib Dikeluarkan: 2.5% x Rp 10.500.000 = Rp 262.500.
Perhitungan ini menunjukkan betapa pentingnya memperhitungkan pengeluaran kebutuhan pokok sebelum menentukan kewajiban zakat. Hal ini mencerminkan prinsip keadilan Islam yang tidak membebani mereka yang masih berjuang memenuhi kebutuhan dasarnya.
7. Penyaluran Zakat Penghasilan (Mustahik)
Setelah zakat berhasil dihitung dan dikumpulkan, tahap selanjutnya yang tak kalah penting adalah penyaluran kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya. Dalam Islam, penerima zakat disebut 'mustahik'. Al-Qur'an secara eksplisit menyebutkan delapan golongan (asnaf) yang berhak menerima zakat, termasuk zakat penghasilan.
7.1. Delapan Asnaf Penerima Zakat
Allah SWT berfirman dalam Surah At-Taubah ayat 60:
"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat (amil), para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. At-Taubah: 60)
Delapan golongan tersebut adalah:
-
Fakir: Orang yang tidak mempunyai harta dan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, atau mempunyai penghasilan tetapi sangat sedikit dan tidak mencukupi.
-
Miskin: Orang yang mempunyai harta atau penghasilan tetapi tidak mencukupi kebutuhan dasar hidupnya, meskipun lebih baik dari fakir.
-
Amil: Orang yang mengumpulkan dan mendistribusikan zakat. Mereka berhak mendapatkan bagian dari zakat sebagai upah atas kerja mereka, bukan dari kas negara.
-
Muallaf: Orang yang baru masuk Islam atau orang yang diharapkan keislamannya semakin kuat dengan pemberian zakat, atau orang yang diharapkan dapat membantu kepentingan umat Islam.
-
Riqab (Budak): Untuk memerdekakan budak. Dalam konteks modern, sebagian ulama menafsirkan ini sebagai membantu membebaskan orang dari perbudakan modern atau dari penjara akibat ketidakmampuan membayar denda yang bukan karena kejahatan berat.
-
Gharimin: Orang yang berutang dan tidak mampu melunasinya, selama utang tersebut bukan untuk maksiat atau hal-hal yang tidak diperlukan. Utang untuk kebutuhan pokok atau untuk mendamaikan sengketa termasuk di dalamnya.
-
Fi Sabilillah (Jalan Allah): Orang-orang yang berjuang di jalan Allah. Penafsiran modern yang luas mencakup perjuangan dalam dakwah, pendidikan, kesehatan, dan kegiatan sosial untuk menegakkan agama Islam.
-
Ibnu Sabil: Orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan (musafir) dan tidak bisa pulang ke tempat asalnya, meskipun di tempat asalnya ia termasuk orang kaya.
7.2. Peran Lembaga Amil Zakat (LAZ)
Meskipun seorang muzaki secara individu diperbolehkan menyalurkan zakatnya langsung kepada mustahik, namun menyalurkannya melalui Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang kredibel sangat dianjurkan. Beberapa alasan mengapa menyalurkan melalui LAZ lebih baik:
-
Efisien dan Efektif: LAZ memiliki data dan program yang terstruktur untuk mengidentifikasi mustahik yang paling membutuhkan, memastikan zakat tersalurkan secara tepat sasaran.
-
Pemerataan: LAZ dapat mendistribusikan zakat secara merata dan menjangkau wilayah yang lebih luas, termasuk daerah-daerah terpencil atau terpinggirkan.
-
Profesionalisme: LAZ memiliki tim yang terlatih dalam pengelolaan dana zakat, dari pengumpulan, pencatatan, hingga penyaluran, sesuai dengan syariat dan regulasi yang berlaku.
-
Aspek Hukum dan Administrasi: Di beberapa negara, pembayaran zakat melalui LAZ dapat dicatat dan diakui sebagai pengurang pajak penghasilan, memberikan manfaat ganda bagi muzaki.
-
Pembangunan Program Jangka Panjang: Selain bantuan konsumtif, banyak LAZ juga mengembangkan program-program pemberdayaan ekonomi (modal usaha, pelatihan), pendidikan, dan kesehatan yang memberikan dampak berkelanjutan bagi mustahik.
-
Mencegah Rasa Malu: Penerimaan zakat melalui amil dapat membantu menjaga martabat mustahik karena mereka tidak langsung berhadapan dengan muzaki.
Dengan menyalurkan zakat melalui LAZ, seorang muzaki tidak hanya menunaikan kewajibannya, tetapi juga turut serta dalam sistem pengelolaan zakat yang lebih terorganisir dan berdampak luas.
8. Hikmah dan Manfaat Zakat Penghasilan
Kewajiban zakat, termasuk zakat penghasilan, bukan sekadar perintah tanpa makna. Di baliknya tersimpan hikmah dan manfaat yang sangat besar, baik bagi individu yang menunaikannya (muzaki), bagi penerimanya (mustahik), maupun bagi masyarakat secara keseluruhan.
8.1. Manfaat bagi Muzaki (Pembayar Zakat)
-
Pembersihan Harta dan Jiwa: Zakat secara harfiah berarti "membersihkan". Dengan mengeluarkan zakat, seorang Muslim membersihkan hartanya dari hak-hak orang lain yang mungkin secara tidak sengaja terambil. Ia juga membersihkan jiwanya dari sifat kikir, cinta dunia berlebihan, dan keserakahan.
-
Meningkatkan Keberkahan: Harta yang dizakati diyakini akan lebih berkah. Allah SWT berfirman: "Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah." (QS. Al-Baqarah: 276). Zakat, sebagai salah satu bentuk sedekah wajib, akan mendatangkan pertumbuhan dan keberkahan dalam harta maupun kehidupan.
-
Ketaatan kepada Allah SWT: Menunaikan zakat adalah bentuk kepatuhan terhadap perintah Allah SWT dan Rasul-Nya. Ini adalah wujud iman dan takwa yang mendekatkan hamba kepada Tuhannya, serta mengharapkan pahala dan ridha-Nya.
-
Penghapus Dosa: Zakat juga berfungsi sebagai penghapus dosa-dosa kecil, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: "Sedekah itu memadamkan dosa sebagaimana air memadamkan api." (HR. Tirmidzi).
-
Menenangkan Hati dan Jiwa: Dengan menunaikan kewajiban, muzaki akan merasakan ketenangan batin, karena ia telah memenuhi hak Allah dan hak sesama. Perasaan cemas akan harta berkurang karena ia telah menyucikannya.
-
Mensyukuri Nikmat Allah: Zakat adalah salah satu bentuk syukur atas rezeki dan karunia yang telah diberikan Allah SWT. Dengan bersyukur, Allah berjanji akan menambah nikmat-Nya.
8.2. Manfaat bagi Mustahik (Penerima Zakat)
-
Memenuhi Kebutuhan Dasar: Bagi fakir dan miskin, zakat adalah sumber utama untuk memenuhi kebutuhan pokok sandang, pangan, dan papan, yang sangat fundamental bagi kelangsungan hidup.
-
Mengurangi Beban Utang: Bagi gharimin, zakat dapat menjadi penyelamat dari belitan utang yang memberatkan, memungkinkan mereka memulai hidup baru tanpa beban finansial yang menekan.
-
Meningkatkan Akses Pendidikan dan Kesehatan: Zakat dapat dialokasikan untuk membiayai pendidikan anak-anak mustahik atau membantu mereka mendapatkan akses layanan kesehatan yang layak, yang seringkali terabaikan karena keterbatasan biaya.
-
Pemberdayaan Ekonomi: Melalui program-program produktif yang dijalankan oleh LAZ, zakat dapat menjadi modal awal bagi mustahik untuk memulai usaha kecil, mengikuti pelatihan keterampilan, atau mengembangkan potensi diri, sehingga mereka dapat mandiri dan keluar dari garis kemiskinan.
-
Memperkuat Solidaritas Sosial: Zakat menciptakan ikatan emosional dan spiritual antara yang mampu dan yang membutuhkan, menumbuhkan rasa persaudaraan dan kepedulian di tengah masyarakat.
8.3. Manfaat bagi Masyarakat dan Negara
-
Menciptakan Keadilan Ekonomi: Zakat berperan sebagai instrumen redistribusi kekayaan yang efektif, mencegah penumpukan harta pada segelintir orang dan mengurangi kesenjangan ekonomi antara kaya dan miskin. Ini mendorong keadilan sosial yang merupakan tujuan utama syariat Islam.
-
Mengentaskan Kemiskinan: Dengan penyaluran yang sistematis, zakat dapat menjadi alat yang ampuh untuk mengurangi angka kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat secara keseluruhan.
-
Mendorong Pertumbuhan Ekonomi: Dana zakat yang didistribusikan kepada mustahik untuk modal usaha atau kebutuhan konsumtif, akan meningkatkan daya beli masyarakat bawah. Peningkatan daya beli ini dapat mendorong produksi dan perputaran roda ekonomi, sehingga berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi nasional.
-
Membangun Stabilitas Sosial: Ketika kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi dan kesenjangan sosial berkurang, potensi konflik dan keresahan sosial juga akan menurun. Zakat berperan dalam menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan stabil.
-
Mewujudkan Masyarakat Madani: Dengan fungsi-fungsinya yang komprehensif, zakat berkontribusi dalam membentuk masyarakat yang berlandaskan nilai-nilai spiritual, moral, dan sosial Islam, yaitu masyarakat yang adil, makmur, dan berakhlak mulia.
Dengan demikian, zakat penghasilan, sebagaimana jenis zakat lainnya, adalah pilar penting dalam mewujudkan tata masyarakat yang berkeadilan, sejahtera, dan diberkahi oleh Allah SWT. Ia adalah jembatan yang menghubungkan antara kewajiban spiritual dan tanggung jawab sosial.
9. Studi Kasus dan Pertanyaan Umum (FAQ) Zakat Penghasilan
Zakat penghasilan seringkali menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan umat Muslim karena sifatnya yang relatif baru dan kompleksitas dalam penghitungannya. Berikut adalah beberapa studi kasus dan pertanyaan umum beserta penjelasannya:
9.1. Studi Kasus
9.1.1. Kasus 1: Karyawan dengan Penghasilan Fluktuatif
Seorang sales marketing mendapatkan gaji pokok Rp 4.000.000 per bulan. Selain itu, ia mendapatkan komisi penjualan yang fluktuatif, rata-rata Rp 5.000.000 per bulan. Bulan ini ia mendapat komisi Rp 10.000.000 karena target penjualan tinggi. Pengeluaran kebutuhan pokok bulanannya Rp 5.000.000. Nisab bulanan (asumsi) Rp 7.500.000.
- Penghasilan Bruto Bulan Ini: Rp 4.000.000 (gaji) + Rp 10.000.000 (komisi) = Rp 14.000.000
- Pengeluaran Kebutuhan Pokok: Rp 5.000.000
- Penghasilan Bersih: Rp 14.000.000 - Rp 5.000.000 = Rp 9.000.000
- Perbandingan dengan Nisab: Rp 9.000.000 (Penghasilan Bersih) > Rp 7.500.000 (Nisab Bulanan)
- Zakat yang Wajib Dikeluarkan: 2.5% x Rp 9.000.000 = Rp 225.000
Penjelasan: Meskipun penghasilan fluktuatif, zakat dihitung berdasarkan total penghasilan yang diterima pada bulan tersebut. Jika penghasilan bersih bulan itu mencapai nisab, maka zakat wajib dikeluarkan.
9.1.2. Kasus 2: Penerima Gaji ke-13 atau Bonus Tahunan
Seorang PNS menerima gaji bulanan Rp 8.000.000. Pada bulan tertentu, ia menerima gaji ke-13 sebesar Rp 8.000.000. Pengeluaran kebutuhan pokok bulanannya Rp 6.000.000. Nisab bulanan (asumsi) Rp 7.500.000.
- Penghasilan Bruto Bulan Ini: Rp 8.000.000 (gaji) + Rp 8.000.000 (gaji ke-13) = Rp 16.000.000
- Pengeluaran Kebutuhan Pokok: Rp 6.000.000
- Penghasilan Bersih: Rp 16.000.000 - Rp 6.000.000 = Rp 10.000.000
- Perbandingan dengan Nisab: Rp 10.000.000 (Penghasilan Bersih) > Rp 7.500.000 (Nisab Bulanan)
- Zakat yang Wajib Dikeluarkan: 2.5% x Rp 10.000.000 = Rp 250.000
Penjelasan: Bonus atau gaji ke-13 adalah bagian dari penghasilan. Ketika diterima, ia digabungkan dengan penghasilan rutin bulan tersebut untuk dihitung zakatnya, jika total bersihnya melebihi nisab.
9.1.3. Kasus 3: Memiliki Utang Konsumtif
Seseorang berpenghasilan Rp 12.000.000 per bulan. Pengeluaran kebutuhan pokoknya (tidak termasuk utang) adalah Rp 5.000.000. Ia memiliki cicilan utang kartu kredit sebesar Rp 2.000.000 per bulan untuk kebutuhan yang sifatnya konsumtif tapi mendesak. Nisab bulanan (asumsi) Rp 7.500.000.
- Penghasilan Bruto: Rp 12.000.000
- Pengeluaran Kebutuhan Pokok + Cicilan Utang: Rp 5.000.000 + Rp 2.000.000 = Rp 7.000.000
- Penghasilan Bersih: Rp 12.000.000 - Rp 7.000.000 = Rp 5.000.000
- Perbandingan dengan Nisab: Rp 5.000.000 (Penghasilan Bersih) < Rp 7.500.000 (Nisab Bulanan)
Penjelasan: Cicilan utang yang bersifat mendesak dan bukan untuk hal-hal konsumtif berlebihan atau spekulasi, boleh dikurangkan dari penghasilan. Dalam kasus ini, muzaki belum wajib zakat.
9.2. Pertanyaan Umum (FAQ)
9.2.1. Apakah zakat penghasilan sama dengan zakat profesi?
Secara umum, ya. Istilah "zakat profesi" lebih menekankan pada sumber penghasilannya dari profesi tertentu (dokter, pengacara, dll.), sedangkan "zakat penghasilan" lebih luas mencakup semua jenis pendapatan dari usaha dan kerja, termasuk gaji karyawan. Keduanya merujuk pada konsep yang sama.
9.2.2. Bagaimana jika penghasilan bulanan saya belum mencapai nisab, tetapi dalam setahun saya yakin akan mencapai nisab?
Jika Anda yakin total penghasilan tahunan Anda akan mencapai nisab, Anda dapat tetap mengeluarkan zakat setiap bulan sebagai ta'jil az-zakah (menyegerakan zakat). Ini diperbolehkan dalam Islam. Jika di akhir tahun ternyata tidak mencapai nisab, jumlah yang sudah dibayarkan dapat dianggap sebagai sedekah sunnah.
9.2.3. Apakah tunjangan keluarga, THR, dan bonus dikenai zakat?
Ya, semua jenis pendapatan tambahan seperti tunjangan, THR (Tunjangan Hari Raya), dan bonus dihitung sebagai bagian dari penghasilan. Jumlahkan semua ini dengan pendapatan rutin Anda pada bulan diterima, lalu hitung zakatnya jika total bersihnya melebihi nisab.
9.2.4. Apakah utang boleh dikurangkan dari penghasilan?
Pendapat mayoritas yang dipegang oleh lembaga zakat memperbolehkan pengurangan utang yang mendesak dan wajib dibayar dari penghasilan bersih sebelum perhitungan zakat. Ini termasuk cicilan rumah, kendaraan (jika menjadi kebutuhan primer), atau utang konsumtif yang benar-benar tidak bisa ditunda. Utang untuk modal usaha biasanya tidak mengurangi kewajiban zakat, karena harta modal usaha itu sendiri memiliki potensi zakat perdagangan.
9.2.5. Bagaimana jika saya memiliki beberapa sumber penghasilan?
Jika Anda memiliki beberapa sumber penghasilan (misalnya gaji dari pekerjaan utama dan penghasilan dari bisnis sampingan), maka semua pendapatan tersebut harus digabungkan. Total penghasilan bruto dari semua sumber kemudian dikurangi dengan pengeluaran kebutuhan pokok Anda, lalu dibandingkan dengan nisab.
9.2.6. Apakah iuran BPJS atau pajak yang dipotong langsung dari gaji mengurangi dasar zakat?
Iuran BPJS Kesehatan atau ketenagakerjaan yang bersifat wajib dan pajak penghasilan (PPh 21) yang dipotong langsung dari gaji dapat mengurangi penghasilan bruto sebelum dihitung zakatnya. Ini karena mereka dianggap sebagai kewajiban yang harus dipenuhi terlebih dahulu.
9.2.7. Apakah dana pensiun dikenai zakat?
Dana pensiun yang masih dalam bentuk tabungan atau investasi dan belum dapat ditarik umumnya tidak dikenai zakat, karena belum sepenuhnya menjadi milik sempurna. Namun, ketika dana pensiun tersebut dicairkan dan diterima oleh seseorang, maka ia menjadi bagian dari penghasilan atau harta yang dimiliki. Jika jumlahnya mencapai nisab dan memenuhi syarat zakat mal, maka wajib dizakati sebagai harta yang telah dimiliki sempurna.
9.2.8. Saya sudah menabung dan punya emas, apakah ini juga kena zakat?
Ya. Zakat penghasilan adalah zakat atas pendapatan yang diterima. Zakat atas tabungan (uang simpanan) atau emas yang Anda miliki adalah zakat mal, yang merupakan kewajiban terpisah. Jika tabungan atau emas tersebut telah mencapai nisab (85 gram emas) dan telah mengendap selama satu tahun penuh (haul), maka wajib dikeluarkan zakatnya 2.5% dari total nilai tabungan atau emas tersebut.
Memahami FAQ ini dapat membantu muzaki dalam menunaikan zakat penghasilan dengan lebih yakin dan tepat sesuai tuntunan syariat.
10. Perbandingan Pendapat Ulama tentang Zakat Penghasilan
Pembahasan mengenai zakat penghasilan merupakan salah satu isu fikih kontemporer yang dinamis. Tidak adanya dalil nash eksplisit dari Al-Qur'an dan Sunnah yang secara spesifik menyebut "zakat penghasilan" atau "zakat profesi" membuat para ulama berijtihad dan menghasilkan beberapa perbedaan pendapat, terutama dalam hal penetapan nisab, haul, dan cara perhitungannya.
10.1. Pendapat yang Mewajibkan Zakat Penghasilan
Mayoritas ulama kontemporer, majelis-majelis fikih, dan lembaga zakat modern mewajibkan zakat penghasilan. Pendapat ini didasarkan pada:
-
Qiyas (Analogi) dengan Zakat Pertanian: Ulama seperti Syekh Yusuf Al-Qardhawi berpendapat bahwa penghasilan adalah hasil dari usaha yang terus-menerus, mirip dengan hasil panen pertanian. Oleh karena itu, zakatnya diqiyaskan dengan zakat pertanian, yaitu dikeluarkan pada saat memperolehnya (yaum hasadih - hari panen) tanpa menunggu haul. Nisabnya diqiyaskan dengan nisab zakat pertanian (5 wasaq atau 653 kg gabah). Tarifnya bisa 5% atau 10% tergantung apakah ada pengeluaran besar dalam memperoleh penghasilan tersebut (mirip dengan biaya irigasi).
Ciri khas pandangan ini: Zakat dikeluarkan setiap kali menerima penghasilan (bukan menunggu setahun), nisab dihitung berdasarkan nilai setara 653 kg gabah, dan tarif bisa 5% atau 10%. Pandangan ini cenderung pada zakat bruto.
-
Qiyas dengan Zakat Emas dan Perak (Zakat Mal): Pendapat ini dianut oleh banyak ulama di Indonesia, termasuk Dewan Syariah Nasional MUI. Mereka mengqiyaskan zakat penghasilan dengan zakat emas dan perak atau zakat perdagangan, karena penghasilan adalah bentuk kekayaan yang terus bertambah dan memiliki potensi untuk disimpan. Nisabnya adalah setara 85 gram emas murni. Tarifnya adalah 2.5%.
Mengenai haul, ada dua sub-pandangan:
- Harus menunggu haul: Penghasilan yang diterima harus dikumpulkan selama setahun. Jika setelah dikurangi kebutuhan pokok dan utang, sisa harta mencapai nisab dan telah genap setahun, barulah dizakati. Ini adalah penerapan murni zakat mal.
- Diperbolehkan ta'jil az-zakah (menyegerakan zakat) bulanan: Ini adalah pandangan yang paling banyak dipraktikkan. Zakat dikeluarkan setiap bulan setelah penghasilan bersih mencapai nisab bulanan (1/12 dari nisab tahunan). Ini dianggap sebagai percepatan pembayaran zakat tahunan. Jika di akhir tahun total penghasilan bersih tidak mencapai nisab, maka yang sudah dibayar dianggap sedekah.
Ciri khas pandangan ini: Nisab setara 85 gram emas, tarif 2.5%, dan umumnya dihitung dari penghasilan bersih setelah dikurangi kebutuhan pokok.
Perbedaan utama antara dua qiyas ini terletak pada:
- Waktu Penarikan Zakat: Segera setelah diterima (Al-Qardhawi) vs. Menunggu Haul atau disegerakan (DSN-MUI).
- Nisab: Nilai setara 653 kg gabah vs. Nilai setara 85 gram emas.
- Tarif: 5% atau 10% vs. 2.5%.
- Dasar Perhitungan: Bruto vs. Netto (setelah kebutuhan pokok).
10.2. Pendapat yang Tidak Mewajibkan Zakat Penghasilan
Sebagian kecil ulama, terutama dari kalangan ulama klasik dan beberapa kontemporer, berpendapat bahwa tidak ada zakat khusus untuk penghasilan selain zakat mal. Mereka berargumen bahwa penghasilan akan menjadi objek zakat (zakat mal) apabila telah disimpan dan memenuhi nisab serta haulnya. Jika penghasilan tersebut habis digunakan untuk kebutuhan sehari-hari sebelum mencapai nisab atau haul, maka tidak ada kewajiban zakat.
Dasar Argumentasi:
- Tidak ada dalil eksplisit dari Al-Qur'an dan Sunnah yang memerintahkan zakat atas gaji atau profesi secara spesifik, terpisah dari zakat mal.
- Zakat telah ditentukan jenis dan kadarnya pada harta tertentu (emas, perak, pertanian, ternak, perdagangan). Menambah jenis zakat baru tanpa nash yang jelas dianggap sebagai inovasi dalam syariat.
- Pendapat ini khawatir jika zakat penghasilan diberlakukan, akan memberatkan umat, terutama mereka yang penghasilannya pas-pasan atau habis untuk kebutuhan pokok.
Namun, pandangan ini semakin ditinggalkan oleh mayoritas ulama modern karena dianggap tidak lagi relevan dengan perkembangan ekonomi saat ini, di mana penghasilan dari profesi menjadi sumber kekayaan utama. Jika hanya mengandalkan zakat mal dari harta yang mengendap, potensi zakat akan sangat berkurang dan tujuan pemerataan kekayaan tidak tercapai secara optimal.
10.3. Kesimpulan Perbandingan
Meskipun ada perbedaan pendapat, yang paling populer dan diamalkan oleh mayoritas umat Muslim dan lembaga amil zakat adalah pendapat yang mewajibkan zakat penghasilan dengan nisab setara 85 gram emas, tarif 2.5%, dan dihitung dari penghasilan bersih bulanan atau tahunan. Pendekatan ini dianggap yang paling moderat, realistis, dan sesuai dengan semangat syariat Islam untuk mewujudkan keadilan sosial di era modern.
Bagi muzaki, yang terpenting adalah memilih salah satu metode yang memiliki dasar kuat dalam fikih dan konsisten dalam penerapannya, serta menyalurkannya melalui lembaga yang kredibel untuk memastikan manfaatnya optimal.
11. Sanksi Tidak Berzakat dalam Islam
Kewajiban zakat adalah perintah langsung dari Allah SWT dan termasuk salah satu rukun Islam. Oleh karena itu, menunaikan zakat adalah bentuk ibadah yang akan mendatangkan pahala besar, sedangkan mengabaikannya atau menolak untuk berzakat (setelah memenuhi syarat) akan mendatangkan sanksi dan azab yang pedih di akhirat.
11.1. Ancaman dalam Al-Qur'an
Allah SWT telah memberikan peringatan keras bagi mereka yang enggan menunaikan zakat:
-
Surah At-Taubah ayat 34-35:
"Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung mereka dan punggung mereka (seraya dikatakan) kepada mereka: 'Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.'" (QS. At-Taubah: 34-35)
Ayat ini secara jelas mengancam para penimbun harta yang enggan mengeluarkan zakatnya dengan azab yang sangat mengerikan di Hari Kiamat. Emas dan perak, yang pada masa itu menjadi standar kekayaan, akan dipanaskan dan digunakan untuk menyiksa mereka sebagai balasan atas penolakan mereka menunaikan kewajiban.
-
Surah Ali Imran ayat 180:
"Sekali-kali janganlah orang-orang yang kikir dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kekikiran itu baik bagi mereka. Sebenarnya kekikiran itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka kikirkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya pada hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Ali Imran: 180)
Ayat ini menegaskan bahwa harta yang tidak dikeluarkan zakatnya akan menjadi azab bagi pemiliknya di akhirat, diibaratkan seperti kalung yang melilit leher, menunjukkan beban dan penyesalan yang tiada akhir.
11.2. Ancaman dalam Hadis Nabi SAW
Rasulullah SAW juga telah memberikan banyak peringatan mengenai dosa tidak berzakat:
-
Hadis tentang Harta yang Menjadi Ular Berbisa:
"Tidak ada seorang pemilik emas dan perak yang tidak menunaikan haknya (zakatnya), melainkan pada Hari Kiamat akan dijadikan baginya lempengan-lempengan dari api, lalu dipanaskan di dalam neraka Jahanam, kemudian dibakar dengannya dahinya, lambungnya, dan punggungnya. Setiap kali lempengan itu dingin, dikembalikan lagi (dipanaskan). (Itu dilakukan) pada suatu hari yang lamanya lima puluh ribu tahun. Kemudian dilihatkan baginya jalannya, apakah ke surga atau ke neraka." (HR. Muslim)
Hadis ini memberikan gambaran yang sangat mengerikan tentang bentuk azab bagi mereka yang enggan berzakat, yaitu harta yang seharusnya menjadi berkah malah menjadi sumber siksaan.
-
Harta yang Tidak Dibersihkan Menjadi Sumber Fitnah: Zakat bertujuan membersihkan harta. Jika harta tidak dibersihkan dengan zakat, maka keberkahannya hilang dan bisa menjadi sumber fitnah, kesempitan, atau musibah dalam kehidupan dunia.
11.3. Konsekuensi Duniawi dan Ukhrawi
Konsekuensi Duniawi:
- Hilangnya Keberkahan: Harta yang tidak dizakati akan kehilangan keberkahannya, meskipun secara kuantitas terlihat banyak. Harta tersebut tidak akan mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan sejati.
- Musibah dan Bencana: Kekikiran dalam menunaikan zakat bisa menjadi penyebab datangnya musibah, bencana, atau kesulitan hidup yang tidak terduga.
- Penyakit Hati: Menumpuk harta tanpa menunaikan hak orang lain dapat menumbuhkan sifat kikir, sombong, dan egois dalam diri, yang merusak hati dan hubungan sosial.
- Kesenjangan Sosial: Secara sosial, menolak zakat akan memperlebar kesenjangan antara kaya dan miskin, yang dapat memicu ketidakstabilan dan konflik dalam masyarakat.
Konsekuensi Ukhrawi:
- Azab yang Pedih: Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an dan Hadis, penolak zakat akan menghadapi siksaan yang sangat pedih di Hari Kiamat.
- Hisab yang Berat: Mereka akan menghadapi hisab (perhitungan) yang berat atas harta yang mereka kumpulkan dan tidak dizakati.
- Penyesalan yang Tak Berkesudahan: Di akhirat, penyesalan akan datang, tetapi sudah terlambat untuk memperbaiki kesalahan.
Mengingat beratnya sanksi dan ancaman bagi mereka yang tidak berzakat, seharusnya setiap Muslim yang telah memenuhi syarat untuk berzakat penghasilan senantiasa bersemangat dan ikhlas menunaikan kewajiban ini. Zakat bukan hanya kewajiban finansial, tetapi juga investasi untuk kebaikan di dunia dan akhirat, serta bentuk kepedulian terhadap sesama.
Kesimpulan
Zakat penghasilan, atau zakat profesi, merupakan salah satu bentuk zakat yang relevan dan penting di era modern ini. Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam nash Al-Qur'an dan Hadis dengan nama tersebut, kewajibannya didasarkan pada ijtihad para ulama kontemporer yang mengqiyaskan dengan dalil-dalil umum tentang zakat dan prinsip keadilan sosial dalam Islam.
Dalam penerapannya, zakat penghasilan umumnya diukur dengan nisab setara 85 gram emas murni, dikeluarkan dengan tarif 2.5%, dan dihitung dari penghasilan bersih bulanan setelah dikurangi kebutuhan pokok dan utang yang mendesak. Pembayaran zakat ini seringkali dilakukan setiap bulan sebagai bentuk percepatan pembayaran zakat tahunan (ta'jil az-zakah), yang memudahkan muzaki dan memastikan distribusi zakat yang berkelanjutan kepada delapan golongan mustahik.
Menunaikan zakat penghasilan bukan hanya sekadar kewajiban finansial, tetapi juga ibadah yang sarat hikmah. Bagi muzaki, ia berfungsi sebagai pembersih harta dan jiwa, mendatangkan keberkahan, serta menjadi wujud ketaatan kepada Allah SWT. Bagi mustahik, zakat adalah penopang kehidupan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar, meringankan beban utang, dan membuka jalan menuju kemandirian ekonomi melalui program-program pemberdayaan. Secara lebih luas, zakat berperan vital dalam menciptakan keadilan ekonomi, mengurangi kesenjangan sosial, dan membangun masyarakat yang harmonis serta sejahtera.
Mengingat pentingnya zakat penghasilan dan ancaman yang serius bagi mereka yang enggan menunaikannya, menjadi kewajiban bagi setiap Muslim yang telah mencapai nisab untuk secara sadar dan ikhlas melaksanakannya. Dengan memahami panduan lengkap ini, diharapkan umat Muslim dapat menghitung dan menyalurkan zakat penghasilan mereka dengan benar, baik secara langsung maupun melalui lembaga amil zakat terpercaya, demi meraih ridha Allah dan kemaslahatan umat.