Nama "Wilwatikta" adalah sebutan puitis yang akrab dengan kejayaan salah satu kerajaan terbesar dalam sejarah Nusantara, yaitu Majapahit. Bukan sekadar nama, Wilwatikta mewakili sebuah periode gemilang di mana sebuah entitas politik berhasil menyatukan sebagian besar kepulauan yang kini kita kenal sebagai Indonesia, bahkan melampaui batas geografis modern. Wilwatikta adalah jantung dari sebuah peradaban maritim dan agraris yang mencapai puncak keemasannya di bawah kepemimpinan raja-raja bijaksana dan patih-patih ulung, meninggalkan warisan tak ternilai yang masih relevan hingga hari ini. Menelusuri Wilwatikta berarti menyelami lautan sejarah, budaya, dan filosofi yang membentuk identitas bangsa.
Kisah Wilwatikta tak bisa dilepaskan dari kehancuran kerajaan sebelumnya, Singasari, pada penghujung abad ke-13. Pada sekitar tahun 1292, Jayakatwang, adipati Kediri, berhasil menumbangkan Singasari dan membunuh raja terakhirnya, Kertanegara. Namun, di tengah kekacauan itu, muncul seorang menantu Kertanegara bernama Raden Wijaya yang berhasil menyelamatkan diri. Raden Wijaya, dengan kecerdikan dan strategi politik yang matang, mencari perlindungan dan mengumpulkan kekuatan baru. Ia berhasil memenangkan hati Arya Wiraraja, adipati Sumenep di Madura, yang kemudian menjadi sekutu pentingnya. Dengan dukungan Arya Wiraraja, Raden Wijaya meminta sebidang tanah di daerah Trowulan, dekat Hutan Tarik, untuk mendirikan sebuah permukiman baru. Konon, di tempat inilah ia menemukan buah maja yang rasanya pahit, dan dari situlah nama "Majapahit" diyakini berasal.
Momen krusial datang ketika invasi tentara Mongol-Cina di bawah komando Ike Mese tiba di Jawa pada tahun 1293. Pasukan Mongol, yang awalnya dikirim oleh Kubilai Khan untuk menghukum Kertanegara yang menolak membayar upeti, menjadi peluang emas bagi Raden Wijaya. Dengan cerdik, Raden Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol, berpura-pura tunduk kepada mereka untuk melawan Jayakatwang. Setelah Jayakatwang berhasil dikalahkan dan Kediri jatuh, Raden Wijaya segera berbalik menyerang pasukan Mongol yang lelah dan lengah, mengusir mereka dari tanah Jawa. Ini adalah manuver politik yang brilian, yang mengamankan kemerdekaan Jawa dan menempatkan Raden Wijaya sebagai penguasa tunggal yang disegani. Pada tanggal 10 November 1293, Raden Wijaya memproklamasikan berdirinya Kerajaan Majapahit, dengan ibu kota di Wilwatikta, dan ia dinobatkan sebagai raja pertama dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana.
Pendirian Wilwatikta bukan hanya tentang kemenangan militer, tetapi juga fondasi bagi sebuah peradaban baru. Raden Wijaya, meskipun mendirikan kerajaan yang baru, tetap mengakui dan melestarikan tradisi serta legitimasi dari Singasari. Ia membangun struktur pemerintahan yang kuat, mengundang para bangsawan dan pemuka agama untuk mendukungnya, serta memulai pembangunan infrastruktur yang akan menjadi landasan bagi kejayaan di masa mendatang. Wilwatikta pada masa awal adalah cerminan dari semangat ketahanan, kecerdikan, dan visi untuk membangun sebuah negeri yang makmur dan berdaulat. Keberhasilannya dalam menghadapi tantangan eksternal (Mongol) dan internal (Jayakatwang) menjadikan Raden Wijaya sebagai figur pendiri yang dihormati, meletakkan batu pertama bagi imperium yang akan menyatukan Nusantara.
Setelah masa pemerintahan Raden Wijaya dan raja-raja berikutnya seperti Jayanegara dan Tribhuwana Tunggadewi, Wilwatikta mencapai puncak keemasannya di bawah kepemimpinan Raja Hayam Wuruk (1350-1389 M) dan patih mahsyurnya, Mahapatih Gajah Mada. Periode ini sering disebut sebagai era keemasan Majapahit, di mana wilayah kekuasaan meluas hingga mencakup sebagian besar wilayah Nusantara dan pengaruhnya terasa di seluruh Asia Tenggara.
Figur sentral dalam ekspansi Wilwatikta adalah Mahapatih Gajah Mada. Ia terkenal dengan "Sumpah Palapa" yang diucapkannya pada tahun 1334 saat pelantikannya sebagai Mahapatih. Sumpah ini berisi ikrar Gajah Mada untuk tidak akan menikmati palapa (kenikmatan duniawi, seperti rempah-rempah atau makanan lezat) sebelum berhasil menyatukan seluruh Nusantara di bawah panji Wilwatikta. Sumpah ini bukan sekadar retorika, melainkan sebuah visi politik besar yang menjadi motor penggerak ekspansi Majapahit selama beberapa dekade.
Di bawah kepemimpinan Gajah Mada, satu per satu kerajaan di Nusantara ditaklukkan atau menjalin hubungan vassal dengan Wilwatikta. Mulai dari Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, hingga sebagian Semenanjung Malaya dan Filipina Selatan, semua merasakan pengaruh Majapahit. Ekspedisi militer yang terorganisir, didukung oleh kekuatan angkatan laut yang mumpuni, memastikan tercapainya ambisi unifikasi ini. Gajah Mada tidak hanya seorang ahli strategi militer, tetapi juga seorang administrator yang cakap, memastikan wilayah yang ditaklukkan terintegrasi dengan baik ke dalam sistem pemerintahan Majapahit. Wilayah-wilayah ini tidak selalu dianeksasi secara langsung, tetapi seringkali diikat dalam hubungan diplomatik dan ekonomi yang saling menguntungkan, dengan pengakuan kedaulatan Majapahit.
Hayam Wuruk, yang juga dikenal sebagai Rajasanagara, adalah raja yang memimpin Wilwatikta saat Gajah Mada menjalankan Sumpah Palapanya. Ia adalah raja yang bijaksana, adil, dan sangat peduli terhadap kesejahteraan rakyatnya. Di bawah pemerintahannya, Wilwatikta mengalami masa damai dan kemakmuran yang luar biasa. Sistem pemerintahan diperkuat, hukum ditegakkan, dan infrastruktur ditingkatkan. Sektor pertanian, khususnya padi, berkembang pesat berkat sistem irigasi yang canggih. Perdagangan maritim juga mencapai puncaknya, dengan Wilwatikta menjadi pusat perdagangan yang ramai di Asia Tenggara, menghubungkan jalur perdagangan dari Cina, India, hingga Timur Tengah.
Hayam Wuruk juga dikenal sebagai pelindung seni dan budaya. Kesenian berkembang pesat, termasuk tari, musik (gamelan), sastra, dan arsitektur. Kitab-kitab penting seperti Nagarakretagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca dan Sutasoma oleh Mpu Tantular, muncul pada masa ini. Nagarakretagama memberikan gambaran detail tentang struktur pemerintahan, wilayah kekuasaan, kehidupan sosial, dan keagamaan Wilwatikta. Sementara Sutasoma memperkenalkan konsep "Bhinneka Tunggal Ika", yang berarti "Berbeda-beda tetapi tetap satu", sebuah filosofi toleransi dan persatuan yang sangat relevan hingga kini. Konsep ini mencerminkan keberagaman agama (Hindu dan Buddha) yang hidup berdampingan secara harmonis di Wilwatikta.
Kedatangan Hayam Wuruk dan Gajah Mada secara bersamaan merupakan berkah bagi Wilwatikta. Gajah Mada dengan kekuatan militernya memperluas wilayah dan pengaruh, sementara Hayam Wuruk dengan kebijaksanaannya membangun fondasi internal yang kokoh, menstabilkan pemerintahan, dan mempromosikan kemakmuran. Keduanya adalah dua pilar yang menjadikan Wilwatikta sebuah imperium yang tak tertandingi di masanya, meninggalkan jejak peradaban yang dalam bagi Nusantara.
Wilwatikta adalah sebuah imperium yang luas, sehingga memerlukan sistem pemerintahan dan administrasi yang canggih dan terstruktur untuk mengelola wilayahnya. Struktur ini dirancang untuk memastikan stabilitas, efisiensi, dan integrasi berbagai wilayah yang beragam di bawah satu payung kekuasaan.
Raja adalah pusat dari segala kekuasaan dan otoritas di Wilwatikta. Ia dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia (dewaraja), yang memberinya legitimasi ilahi untuk memerintah. Kekuasaan raja bersifat absolut, namun dalam praktiknya, raja dikelilingi oleh dewan penasihat, para bangsawan, dan pemuka agama yang turut memengaruhi kebijakan. Raja bertanggung jawab atas urusan kenegaraan, keamanan, kesejahteraan rakyat, dan pelestarian dharma (kebenaran dan keadilan). Suksesi takhta umumnya mengikuti garis keturunan langsung, meskipun terkadang terjadi perebutan kekuasaan yang bisa menyebabkan konflik.
Di bawah raja, terdapat struktur pemerintahan pusat yang kompleks. Jabatan tertinggi setelah raja adalah Rakryan Mahapatih (Mahapatih), yang bertindak sebagai perdana menteri dan komandan militer tertinggi. Gajah Mada adalah contoh paling terkenal dari seorang Mahapatih yang memiliki kekuasaan dan pengaruh luar biasa. Mahapatih dibantu oleh beberapa Rakryan (menteri) yang mengepalai departemen atau bidang tertentu, seperti urusan dalam negeri, luar negeri, keuangan, dan kehakiman. Ada juga dewan penasihat kerajaan yang terdiri dari para bangsawan senior dan cendekiawan agama.
Pemerintahan juga melibatkan berbagai pejabat keagamaan, seperti Dharmadyaksa ring Kasogatan (pemimpin agama Buddha) dan Dharmadyaksa ring Kasaiwan (pemimpin agama Siwa/Hindu). Keberadaan dua pemimpin agama ini menunjukkan pengakuan Wilwatikta terhadap pluralisme agama, sebuah ciri khas yang tercermin dalam filosofi Bhinneka Tunggal Ika. Para pejabat ini tidak hanya mengurus masalah keagamaan, tetapi juga berperan dalam penasihatan spiritual dan moral bagi raja dan para penguasa.
Untuk mengelola wilayah yang sangat luas, Wilwatikta membagi kekuasaannya menjadi beberapa tingkatan:
Sistem ini memungkinkan Wilwatikta untuk menjaga pengaruh dan mengumpulkan sumber daya dari wilayah-wilayah jauh tanpa harus memobilisasi pasukan besar secara terus-menerus. Para penguasa lokal diberi kepercayaan untuk mengelola daerahnya sendiri, yang pada gilirannya membantu mempertahankan stabilitas dan mencegah pemberontakan besar. Perdagangan dan pertukaran budaya menjadi perekat yang kuat, menghubungkan pusat Wilwatikta dengan daerah-daerah periferalnya.
Selain itu, terdapat pula sistem pengadilan yang terstruktur, dengan hakim-hakim yang menerapkan hukum berdasarkan kitab undang-undang seperti Kutara Manawa. Keamanan dijaga oleh pasukan Bhayangkari, pasukan pengawal raja yang juga bertindak sebagai polisi dan unit intelijen. Semua elemen ini bekerja sama untuk menciptakan sebuah sistem yang kuat dan efektif, memungkinkan Wilwatikta untuk tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang sebagai kekuatan dominan di Nusantara.
Kemegahan Wilwatikta tidak hanya terletak pada kekuasaan militer dan politiknya, tetapi juga pada kemakmuran ekonominya. Wilwatikta merupakan kerajaan agraris sekaligus maritim, yang berarti kekuatannya bersandar pada produksi pangan dari tanah subur Jawa dan dominasinya di jalur perdagangan laut yang strategis di Asia Tenggara.
Jawa, khususnya Jawa Timur tempat ibu kota Wilwatikta berada, adalah tanah yang sangat subur. Pertanian menjadi tulang punggung ekonomi, dengan padi sebagai komoditas utama. Sistem irigasi yang canggih, yang telah dikembangkan sejak zaman kerajaan-kerajaan sebelumnya, ditingkatkan dan diperluas di bawah pemerintahan Wilwatikta. Waduk, bendungan, dan saluran air dibangun dan dirawat dengan baik untuk memastikan pasokan air yang stabil ke lahan pertanian. Hasilnya, Wilwatikta mampu memproduksi surplus padi yang melimpah, menjadikannya lumbung pangan bagi seluruh kerajaan dan memungkinkan terjadinya perdagangan antar daerah serta ekspor.
Selain padi, pertanian Wilwatikta juga menghasilkan komoditas lain seperti rempah-rempah (lada, cengkeh, pala), gula, kapas, buah-buahan, dan sayuran. Produk-produk ini tidak hanya memenuhi kebutuhan lokal tetapi juga menjadi bagian penting dari jaringan perdagangan internasional. Tanah yang subur dan iklim tropis yang mendukung memungkinkan keberagaman hasil pertanian, yang pada gilirannya menopang populasi yang besar dan aktivitas ekonomi lainnya.
Sebagai kerajaan kepulauan, Wilwatikta sangat bergantung pada laut. Posisi geografisnya yang strategis di tengah jalur perdagangan antara Cina, India, dan Timur Tengah menjadikan Wilwatikta sebagai pemain kunci dalam perdagangan maritim internasional. Pelabuhan-pelabuhan penting seperti Bubat, Hujung Galuh, Canggu, dan Tuban menjadi sangat ramai dengan aktivitas bongkar muat barang. Kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru dunia berlabuh di pelabuhan Wilwatikta, membawa sutra dari Cina, keramik, porselen, rempah-rempah dari Maluku, emas dari Sumatera, dan banyak lagi.
Wilwatikta juga memiliki armada laut yang kuat, yang tidak hanya berfungsi sebagai kekuatan militer untuk mempertahankan wilayah dan melakukan ekspansi, tetapi juga sebagai pengawas dan pelindung jalur-jalur perdagangan. Kebijakan pajak dan bea cukai diterapkan pada barang-barang yang masuk dan keluar, yang menjadi sumber pendapatan besar bagi kerajaan. Perdagangan ini tidak hanya melibatkan komoditas, tetapi juga pertukaran budaya dan teknologi, yang memperkaya Wilwatikta dalam berbagai aspek.
Untuk memfasilitasi perdagangan, Wilwatikta menggunakan mata uang berupa kepingan logam, seringkali berupa koin tembaga atau perak. Koin-koin ini digunakan dalam transaksi sehari-hari di pasar-pasar lokal yang ramai. Berbagai macam kerajinan tangan juga berkembang pesat, seperti tenun, ukiran kayu, pembuatan perhiasan dari emas dan perak, serta pembuatan alat-alat pertanian dan rumah tangga. Para pengrajin memiliki peran penting dalam ekonomi lokal, menghasilkan barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat dan juga untuk diperdagangkan.
Sistem pajak dan upeti yang terorganisir juga berkontribusi pada kemakmuran Wilwatikta. Dari wilayah-wilayah vassal di Nusantara, Wilwatikta menerima upeti dalam bentuk barang berharga, hasil bumi, atau tenaga kerja. Sistem ini, ditambah dengan pendapatan dari pertanian dan perdagangan, memungkinkan Wilwatikta untuk membiayai pembangunan infrastruktur, pemeliharaan militer, dan mendukung kehidupan para bangsawan serta seniman dan cendekiawan. Singkatnya, Wilwatikta adalah sebuah imperium yang mandiri secara ekonomi dan dominan dalam perdagangan, menjadikannya kekuatan yang tak tertandingi di masanya.
Wilwatikta adalah pusat peradaban yang kaya akan kehidupan sosial dan budaya. Masyarakatnya terstruktur dengan baik, dengan toleransi beragama yang tinggi, dan kebudayaan yang berkembang pesat di berbagai bidang, mulai dari sastra, seni pertunjukan, hingga arsitektur.
Masyarakat Wilwatikta memiliki struktur hierarkis yang umumnya dibagi berdasarkan kasta (caturwangsa) seperti dalam sistem Hindu-Buddha, meskipun penerapannya di Jawa tidak sekaku di India.
Meskipun ada pembagian kasta, mobilitas sosial dimungkinkan, terutama melalui pencapaian atau pernikahan. Interaksi antara kasta-kasta ini membentuk dinamika sosial yang kompleks, di mana setiap golongan memiliki peran dan tanggung jawabnya masing-masing. Di ibu kota Wilwatikta, kehidupan sosial sangat semarak dengan festival keagamaan, pasar yang ramai, dan aktivitas kesenian.
Salah satu aspek paling menonjol dari kehidupan sosial-budaya Wilwatikta adalah toleransi beragama yang tinggi. Agama Hindu (terutama Siwa) dan Buddha hidup berdampingan secara harmonis. Raja-raja Wilwatikta seringkali menganut salah satu agama ini, tetapi tetap menghormati dan mendukung praktik agama yang lain. Ini tercermin dari adanya Dharmadyaksa ring Kasogatan (pemimpin agama Buddha) dan Dharmadyaksa ring Kasaiwan (pemimpin agama Siwa) dalam struktur pemerintahan.
Filosofi "Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa" (Berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak ada kebenaran yang mendua), yang termuat dalam Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular, menjadi landasan bagi toleransi ini. Frasa ini tidak hanya relevan untuk agama, tetapi juga mencerminkan upaya Wilwatikta untuk menyatukan berbagai suku dan budaya di bawah satu payung pemerintahan tanpa menghilangkan identitas lokal mereka. Konsep ini menunjukkan kematangan pemikiran para cendekiawan Wilwatikta dalam menghadapi pluralitas dan menjadikannya kekuatan untuk persatuan.
Masa kejayaan Wilwatikta adalah era keemasan bagi seni dan sastra Jawa kuno.
Kesenian dan sastra Wilwatikta tidak hanya bersifat hiburan, tetapi juga memiliki fungsi edukatif dan ritualistik, menjadi sarana untuk mempertahankan dan menyebarkan nilai-nilai luhur peradaban. Semua ini menunjukkan bahwa Wilwatikta bukan hanya sebuah kerajaan dengan kekuatan politik dan ekonomi, tetapi juga sebuah pusat kebudayaan yang dinamis dan berkelas dunia, meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam khazanah kebudayaan Nusantara.
Setelah puncak kejayaan di bawah Hayam Wuruk dan Gajah Mada, Wilwatikta perlahan-lahan memasuki masa kemunduran. Berbagai faktor, baik internal maupun eksternal, secara bertahap melemahkan fondasi imperium ini, hingga akhirnya mengantarkan pada keruntuhannya.
Wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389 M dan Gajah Mada beberapa tahun sebelumnya (sekitar 1364 M) meninggalkan kekosongan kepemimpinan yang sulit diisi. Tidak ada lagi figur sentral sekuat mereka yang mampu menjaga persatuan dan stabilitas kerajaan. Hayam Wuruk memiliki dua putri, dan putranya, Wikramawardhana, yang seharusnya menjadi penerus yang kuat, tidak sepenuhnya mampu mengendalikan para bangsawan yang ambisius.
Masalah suksesi menjadi pemicu utama perpecahan. Perebutan takhta antara Wikramawardhana (menantu dan putra mahkota yang diangkat Hayam Wuruk) dan Bhre Wirabhumi (putra Hayam Wuruk dari selir, yang memerintah di Blambangan) memuncak dalam Perang Paregreg (1404-1406 M). Perang saudara ini berlangsung sengit dan sangat merugikan Wilwatikta. Banyak sumber daya dan tenaga yang terkuras, infrastruktur rusak, dan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan pusat menurun drastis. Meskipun Wikramawardhana akhirnya memenangkan perang, kemenangan itu datang dengan harga yang sangat mahal: Wilwatikta telah terpecah-belah dan kekuatannya melemah secara signifikan.
Setelah Perang Paregreg, Wilwatikta tidak pernah benar-benar pulih sepenuhnya. Para raja berikutnya silih berganti, namun tidak ada yang mampu mengembalikan kejayaan masa lalu. Pengaruh bangsawan daerah semakin kuat, dan kesetiaan terhadap pusat mulai luntur. Pemberontakan-pemberontakan lokal semakin sering terjadi, menunjukkan berkurangnya kontrol pusat atas wilayah-wilayah Nusantara.
Bersamaan dengan masalah internal, Wilwatikta juga menghadapi tantangan dari luar. Di pesisir utara Jawa, bandar-bandar dagang yang semula di bawah kendali Majapahit, seperti Demak, Tuban, dan Gresik, mulai tumbuh menjadi kekuatan ekonomi dan politik baru. Para penguasa lokal di wilayah ini, banyak di antaranya adalah keturunan atau bangsawan yang telah memeluk Islam, membangun kekuatan mereka sendiri.
Penyebaran agama Islam yang semakin pesat di Nusantara, terutama melalui jalur perdagangan, juga menjadi faktor penting. Para pedagang Muslim dari Arab, Persia, dan Gujarat membawa tidak hanya barang dagangan tetapi juga ajaran agama baru. Komunitas Muslim di kota-kota pelabuhan berkembang pesat dan membentuk jaringan kekuasaan yang semakin independen dari Wilwatikta yang bercorak Hindu-Buddha.
Kesultanan Demak, yang didirikan oleh Raden Patah (konon putra dari Raja Brawijaya V, raja terakhir Majapahit), menjadi kekuatan penantang terbesar. Demak tumbuh menjadi pusat perdagangan dan penyebaran Islam yang kuat. Konflik antara Wilwatikta dan Demak tidak terhindarkan. Pada akhirnya, sekitar tahun 1527 M, pasukan Demak di bawah pimpinan Pati Unus atau Fatahillah menyerang dan menaklukkan Wilwatikta. Jatuhnya ibu kota menandai akhir dari kemaharajaan Wilwatikta, meskipun beberapa kantong-kantong kekuasaan yang bercorak Majapahit masih bertahan di wilayah timur Jawa seperti Blambangan selama beberapa waktu.
Keruntuhan Wilwatikta bukanlah peristiwa tunggal, melainkan proses panjang yang melibatkan kombinasi kelemahan internal dan munculnya kekuatan-kekuatan baru yang lebih dinamis. Imperium besar ini akhirnya harus menyerah pada perubahan zaman, meninggalkan warisan yang kaya namun juga pelajaran berharga tentang siklus naik turunnya sebuah peradaban.
Meskipun Wilwatikta telah runtuh dan menjadi bagian dari sejarah, warisan yang ditinggalkannya tetap hidup dan membentuk identitas Nusantara hingga kini. Pengaruhnya dapat dilihat dalam berbagai aspek, mulai dari politik, sosial, budaya, hingga filosofi kehidupan.
Salah satu warisan terbesar Wilwatikta adalah konsep persatuan Nusantara. Sumpah Palapa Gajah Mada bukan sekadar ambisi seorang patih, tetapi juga visi untuk menyatukan berbagai pulau dan etnis menjadi satu kesatuan politik. Meskipun Wilwatikta adalah sebuah imperium yang bersifat hegemonik, ia berhasil menunjukkan bahwa kepulauan yang beragam ini dapat diatur dan diintegrasikan. Ide ini kemudian menjadi inspirasi penting bagi para pendiri bangsa Indonesia dalam merumuskan konsep negara kesatuan.
Pengakuan terhadap keberagaman lokal dan upaya untuk merangkulnya, seperti yang terlihat dalam administrasi wilayah Wilwatikta, juga menjadi cikal bakal pemahaman tentang kebhinekaan. Wilwatikta menunjukkan bagaimana sebuah entitas besar dapat menjaga kesatuannya sambil menghormati otonomi dan tradisi lokal, sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi negara kepulauan seperti Indonesia.
Frasa "Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa" dari Kitab Sutasoma telah menjadi semboyan resmi Republik Indonesia. Ini adalah warisan filosofis yang tak ternilai dari Wilwatikta. Filosofi ini mengajarkan tentang pentingnya persatuan di tengah perbedaan, serta toleransi antar umat beragama dan antarsuku. Dalam konteks Indonesia yang memiliki keragaman etnis, agama, bahasa, dan budaya, semboyan ini adalah jangkar yang kuat untuk menjaga kohesi sosial dan nasional.
Di masa Wilwatikta, Bhinneka Tunggal Ika diterapkan dalam harmoni antara Hindu dan Buddha. Di masa kini, ia meluas menjadi landasan untuk hidup berdampingan secara damai di antara berbagai agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia. Ini menunjukkan relevansi abadi dari pemikiran para cendekiawan Wilwatikta dalam membangun fondasi moral dan etika bagi sebuah bangsa yang majemuk.
Banyak aspek kebudayaan Jawa modern memiliki akar kuat di masa Wilwatikta. Seni pertunjukan seperti wayang, gamelan, dan tari-tarian tradisional sebagian besar telah ada dan berkembang pada masa ini. Bentuk-bentuk arsitektur tradisional, ukiran, dan tata kota juga seringkali terinspirasi dari gaya Wilwatikta. Kesusastraan Jawa kuno, termasuk kakawin dan kidung, merupakan fondasi bagi perkembangan sastra di kemudian hari.
Warisan bahasa Jawa kuno (Kawi) juga masih dapat ditemukan dalam perbendaharaan kata bahasa Jawa modern dan bahkan beberapa kata dalam Bahasa Indonesia. Pengaruh kebudayaan Wilwatikta juga meluas ke berbagai daerah lain di Nusantara yang pernah menjadi bagian dari lingkup pengaruhnya, meninggalkan jejak-jejak budaya yang masih terlihat hingga sekarang.
Situs Trowulan di Mojokerto, Jawa Timur, adalah bekas ibu kota Wilwatikta dan merupakan salah satu situs arkeologi terpenting di Indonesia. Penemuan-penemuan di Trowulan, seperti reruntuhan candi, gapura, petirtaan, saluran air, perkakas rumah tangga, keramik Cina, hingga koin kuno, memberikan wawasan yang tak ternilai tentang kehidupan di Wilwatikta. Situs ini menjadi museum terbuka yang terus digali dan dipelajari, membantu kita memahami secara konkret bagaimana kemegahan Wilwatikta pernah berdiri di tanah ini.
Dari struktur tata kota yang teratur hingga artefak seni yang rumit, Trowulan adalah saksi bisu dari kecanggihan peradaban Wilwatikta. Upaya pelestarian dan penelitian di situs ini terus berlanjut, memastikan bahwa generasi mendatang dapat terus belajar dari jejak-jejak masa lalu yang gemilang.
Kisah kemegahan Wilwatikta seringkali dijadikan simbol dan sumber inspirasi bagi gerakan nasionalisme Indonesia. Cita-cita untuk menyatukan seluruh kepulauan, membangun sebuah negara yang kuat dan berdaulat, serta menjunjung tinggi persatuan dalam keberagaman, banyak dipengaruhi oleh narasi kejayaan Majapahit. Wilwatikta menjadi bukti bahwa bangsa di kepulauan ini memiliki sejarah peradaban yang agung dan mampu mencapai kemajuan yang luar biasa.
Dengan demikian, Wilwatikta bukan hanya bagian dari masa lalu, tetapi juga bagian integral dari identitas dan aspirasi bangsa Indonesia. Warisan politik, filosofis, dan budayanya terus membentuk cara kita memandang diri sendiri sebagai bangsa yang Bhinneka Tunggal Ika, sebagai pewaris sebuah imperium yang pernah menyatukan Nusantara.
Wilwatikta, nama puitis bagi Kerajaan Majapahit, adalah sebuah babak emas dalam lembaran sejarah Nusantara yang tak terhingga nilainya. Dari asal mulanya yang penuh intrik dan perjuangan oleh Raden Wijaya, hingga mencapai puncak kejayaan di bawah kepemimpinan gemilang Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, Wilwatikta telah membentuk lanskap politik, sosial, dan budaya di kepulauan ini.
Imperium ini bukan sekadar kekuatan militer yang menaklukkan, melainkan sebuah peradaban yang kaya. Wilwatikta adalah kekuatan agraris yang mampu memberi makan rakyatnya dengan hasil bumi yang melimpah, dan kekuatan maritim yang mengendalikan jalur-jalur perdagangan vital, menjadikannya pusat ekonomi yang dinamis. Dalam aspek sosial, Wilwatikta menunjukkan kematangan dalam menghadapi pluralitas, dengan filosofi Bhinneka Tunggal Ika yang mempromosikan toleransi antarumat beragama dan persatuan di tengah perbedaan, sebuah konsep yang relevan dan esensial hingga hari ini.
Di bidang kebudayaan, Wilwatikta melahirkan mahakarya sastra seperti Nagarakretagama dan Sutasoma, serta mengembangkan seni pertunjukan seperti wayang dan gamelan yang menjadi fondasi bagi kebudayaan Jawa dan Indonesia modern. Peninggalan arsitektur di Trowulan dan berbagai artefak lainnya adalah saksi bisu kemajuan teknologi dan estetika pada masanya, memberikan jendela bagi kita untuk mengintip kehidupan di pusat imperium ini.
Meski akhirnya harus runtuh akibat perpecahan internal dan munculnya kekuatan-kekuatan baru, Wilwatikta meninggalkan warisan yang mendalam. Konsep persatuan Nusantara yang digagasnya menjadi inspirasi bagi terbentuknya negara Indonesia modern. Bhinneka Tunggal Ika menjadi semboyan nasional, dan jejak-jejak budayanya masih terasa kuat dalam identitas bangsa. Dengan demikian, Wilwatikta bukan hanya sebuah kerajaan dari masa lalu, melainkan sebuah sumber pelajaran, inspirasi, dan kebanggaan bagi seluruh rakyat Indonesia, yang terus hidup dalam jiwa Nusantara.