Menjelajahi Makna Wahib: Sang Pemberi dalam Kehidupan

Ilustrasi simbolisasi cahaya dan keberkahan yang terus mengalir, melambangkan konsep pemberian.

Dalam lanskap bahasa dan spiritualitas, terdapat kata-kata yang membawa resonansi mendalam, melampaui sekadar definisi harfiah. Salah satu kata tersebut adalah "Wahib". Akar katanya yang kaya makna telah menjadi fondasi bagi pemahaman tentang kemurahan hati, kedermawanan, dan sifat memberi yang tak terbatas. "Wahib" bukan hanya sebuah nama, melainkan sebuah konsep universal yang meresap dalam berbagai dimensi kehidupan, mulai dari tingkat ilahi hingga interaksi antarmanusia.

Artikel ini akan mengupas tuntas segala aspek yang terkait dengan "Wahib". Kita akan menjelajahi etimologi dan akar bahasanya, menelisik bagaimana ia terwujud sebagai salah satu Asmaul Husna (nama-nama indah Allah), menyelami implikasinya dalam perilaku dan moralitas manusia, serta menganalisis filosofi dan psikologi di balik tindakan memberi. Lebih jauh, kita akan melihat bagaimana semangat "Wahib" dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, menjadi pilar bagi masyarakat yang harmonis dan penuh berkah. Melalui pemahaman yang komprehensif ini, diharapkan pembaca dapat menemukan inspirasi untuk menumbuhkan sifat memberi dalam diri mereka, memahami nilai luhur yang terkandung di dalamnya, dan pada akhirnya, merasakan kedamaian serta keberlimpahan yang datang dari tindakan Wahib.

1. Etimologi dan Akar Bahasa "Wahib"

Untuk memahami kedalaman makna "Wahib", penting untuk kembali ke akar bahasanya. Kata "Wahib" berasal dari bahasa Arab, dari akar kata (جذر) yang sama, yaitu Waw-Ha-Ba (و-ه-ب). Akar ini secara fundamental berarti 'memberi', 'menghadiahi', atau 'menganugerahkan'. Dari akar ini, muncul berbagai bentuk kata kerja dan kata benda yang memperkaya pemahaman kita tentang tindakan memberi.

1.1. Bentuk-bentuk Kata dari Akar W-H-B

Dari keberagaman bentuk ini, jelas bahwa konsep memberi dalam bahasa Arab sangatlah kaya dan multidimensional. Ia tidak hanya terbatas pada pertukaran materi, tetapi juga mencakup anugerah, bakat, bahkan sifat ilahiah yang mendasari eksistensi.

1.2. Konotasi dan Nuansa Makna

Kata "Wahib" itu sendiri adalah bentuk Ism al-Fa'il (kata benda pelaku) dari kata kerja Wahaba, sehingga secara harfiah berarti 'orang yang memberi' atau 'Sang Pemberi'. Ini adalah sebutan yang mengisyaratkan sifat aktif, seseorang atau entitas yang secara konsisten dan sukarela menganugerahkan sesuatu. Konotasi yang melekat pada "Wahib" adalah kemurahan hati, kebaikan, dan ketiadaan harapan akan balasan. Pemberian yang bersifat Wahib adalah pemberian murni, tanpa syarat, yang berasal dari keinginan tulus untuk berbagi atau menganugerahkan.

Dalam konteks yang lebih luas, "Wahib" juga bisa menyiratkan sebuah sumber yang melimpah, dari mana segala sesuatu berasal. Sumber ini tidak pernah kering, selalu siap untuk menganugerahkan, dan pemberiannya tidak pernah mengurangi kekayaannya. Pemahaman ini sangat penting ketika kita beralih ke pembahasan tentang Allah SWT sebagai Al-Wahhab.

2. Al-Wahhab: Allah sebagai Sang Maha Pemberi

Puncak dari pemahaman tentang "Wahib" adalah ketika kita mengaitkannya dengan salah satu Asmaul Husna, yaitu Al-Wahhab (الْوَهَّابُ). Al-Wahhab adalah Dzat Yang Maha Pemberi, yang menganugerahkan segala sesuatu tanpa mengharapkan imbalan dan tanpa batas. Ini adalah atribut keagungan ilahiah yang membentuk inti dari pemahaman Islam tentang kemurahan Tuhan.

Simbolisasi alam semesta yang diatur oleh kebaikan dan anugerah ilahi.

2.1. Makna dan Signifikansi Al-Wahhab

Al-Wahhab memiliki makna yang lebih dalam dari sekadar 'pemberi'. Ia mengindikasikan pemberian yang tak henti-hentinya, tak terbatas, dan tak bersyarat. Allah memberikan karunia-Nya kepada seluruh makhluk, baik yang beriman maupun yang tidak, tanpa diminta, bahkan sebelum mereka menyadari kebutuhannya. Pemberian-Nya tidak pernah berkurang, dan kekuasaan-Nya untuk memberi tidak pernah terbatas.

Sebagai Al-Wahhab, Allah memberikan:

Pemberian dari Al-Wahhab tidak pernah disertai dengan harapan balasan atau pujian. Ini adalah manifestasi dari kemurahan mutlak dan kasih sayang yang tak terhingga.

2.2. Manifestasi Al-Wahhab dalam Penciptaan

Seluruh alam semesta adalah saksi bisu dari kemurahan Al-Wahhab. Mulai dari tatanan galaksi yang agung hingga mikroorganisme terkecil, semua diciptakan dengan presisi dan fungsi yang sempurna. Matahari yang menyinari, air yang mengalir, bumi yang menumbuhkan, udara yang dihirup – semua adalah bentuk pemberian yang esensial bagi kelangsungan hidup.

Dalam diri manusia sendiri, manifestasi Al-Wahhab begitu kentara. Dari organ-organ tubuh yang bekerja tanpa henti, sistem saraf yang kompleks, hingga kemampuan berbicara, mendengar, melihat, dan merasa – semuanya adalah anugerah yang tak ternilai harganya. Al-Qur'an seringkali mengajak manusia untuk merenungkan ciptaan ini sebagai bukti kekuasaan dan kemurahan Allah.

2.3. Dampak Al-Wahhab dalam Kehidupan Manusia

Memahami Allah sebagai Al-Wahhab memiliki dampak transformatif pada pandangan hidup seorang mukmin:

  1. Meningkatkan Rasa Syukur (Syukr): Kesadaran bahwa segala sesuatu berasal dari pemberian-Nya akan menumbuhkan rasa syukur yang mendalam. Bukan hanya untuk hal-hal besar, tetapi juga untuk berkah-berkah kecil yang sering terabaikan.
  2. Menumbuhkan Kepercayaan (Tawakkal): Keyakinan bahwa Allah adalah Maha Pemberi akan memupuk kepercayaan penuh bahwa Dia akan senantiasa memenuhi kebutuhan hamba-Nya. Ini mengurangi kecemasan dan kekhawatiran tentang masa depan.
  3. Mendorong Kedermawanan (Jud): Dengan meneladani sifat Al-Wahhab, seorang mukmin termotivasi untuk menjadi pemberi, berbagi apa yang ia miliki dengan orang lain, sebagai cerminan dari kemurahan Tuhan.
  4. Mengurangi Ketamakan dan Materialisme: Pemahaman bahwa kekayaan dan rezeki adalah pemberian sementara dari Allah membantu melepaskan diri dari belenggu ketamakan dan keterikatan berlebihan pada dunia.
  5. Menyemai Harapan dan Optimisme: Meskipun dalam kesulitan, seorang yang memahami Al-Wahhab akan selalu memiliki harapan bahwa Allah akan membuka jalan dan memberikan jalan keluar, karena Dia adalah Sumber segala kebaikan.

2.4. Refleksi dalam Doa dan Ibadah

Nama Al-Wahhab seringkali disebut dalam doa-doa, memohon anugerah dan rahmat dari Allah. Salah satu contoh yang paling dikenal adalah doa Nabi Musa AS dalam Al-Qur'an (QS. Shad: 35):
"Rabbighfir lii wa hab lii mulkan laa yambaghii li-ahadin mim ba'dii innaka antal Wahhab."
Yang artinya: "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak patut dimiliki oleh seorang pun sesudahku; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi."

Dalam doa ini, Nabi Musa secara langsung memohon kepada Allah yang memiliki sifat Al-Wahhab untuk menganugerahkan sesuatu yang luar biasa, menunjukkan keyakinan penuh akan kemampuannya untuk memberi. Doa ini adalah salah satu bukti konkret bagaimana seorang hamba berinteraksi dengan Tuhannya melalui pemahaman sifat-sifat-Nya. Mengucapkan "Ya Wahhab" dalam zikir juga merupakan bentuk penghambaan dan pengakuan akan kebesaran-Nya dalam memberi.

3. Wahib sebagai Sifat dan Perilaku Manusia: Kedermawanan

Meskipun Al-Wahhab adalah atribut unik Allah SWT, manusia dianjurkan untuk meneladani sifat-sifat-Nya dalam batas kemampuannya sebagai makhluk. Menjadi "Wahib" dalam konteks manusia berarti menjadi seorang pemberi, seorang yang dermawan, yang secara sukarela berbagi dan menolong sesama.

Ilustrasi tangan yang terbuka, melambangkan tindakan memberi dan berbagi antar sesama.

3.1. Kebajikan Memberi dalam Ajaran Islam

Islam sangat menekankan pentingnya kedermawanan dan tindakan memberi. Konsep ini terjalin erat dalam berbagai aspek ibadah dan muamalah (interaksi sosial).

  1. Zakat: Pilar Islam yang wajib bagi setiap Muslim yang memenuhi syarat, merupakan bentuk pemberian yang terstruktur untuk membersihkan harta dan mendistribusikannya kepada yang berhak.
  2. Infaq: Pemberian harta di jalan Allah yang bersifat sukarela, tidak wajib seperti zakat, namun sangat dianjurkan. Infaq mencakup pengeluaran untuk keluarga, kaum fakir miskin, dan tujuan-tujuan kebaikan lainnya.
  3. Sedekah (Shadaqah): Lebih luas dari infaq, sedekah mencakup segala bentuk kebaikan, baik materi maupun non-materi. Senyum, kata-kata baik, menyingkirkan duri di jalan, berbagi ilmu – semua adalah bentuk sedekah.
  4. Waqaf: Pemberian harta benda yang produktif untuk dimanfaatkan secara terus-menerus bagi kepentingan umum, seperti tanah untuk masjid, sekolah, atau rumah sakit. Manfaatnya terus mengalir bahkan setelah pemberi meninggal dunia.
  5. Hibah: Pemberian harta kepada seseorang secara sukarela tanpa mengharapkan imbalan. Mirip dengan hadiah, namun seringkali dengan konotasi yang lebih formal.

Semua bentuk ini mencerminkan semangat "Wahib" di mana seseorang memberikan sebagian dari apa yang ia miliki, bukan karena kewajiban semata, melainkan juga karena didorong oleh kemurahan hati dan keinginan untuk mendapatkan keridaan Allah.

3.2. Manfaat Memberi bagi Individu dan Masyarakat

Tindakan memberi tidak hanya bermanfaat bagi penerima, tetapi juga memiliki dampak positif yang mendalam bagi pemberi dan masyarakat secara keseluruhan:

3.2.1. Manfaat bagi Pemberi

3.2.2. Manfaat bagi Masyarakat

4. Filosofi dan Psikologi di Balik Tindakan Memberi

Di luar dimensi spiritual dan keagamaan, tindakan memberi juga memiliki landasan filosofis dan psikologis yang kuat. Mengapa manusia memberi? Apa yang mendorong altruisme? Bagaimana tindakan ini memengaruhi kesejahteraan mental dan emosional?

4.1. Altruisme vs. Egoisme yang Terselubung

Salah satu perdebatan filosofis yang mendalam adalah apakah tindakan memberi benar-benar murni altruistik (tanpa pamrih) ataukah selalu ada unsur egoisme yang terselubung (misalnya, mencari kebahagiaan pribadi, pengakuan sosial, atau pahala ilahi). Namun, banyak pemikir berpendapat bahwa bahkan jika ada manfaat pribadi yang dirasakan pemberi, hal itu tidak secara otomatis meniadakan sifat kebaikan dari tindakan itu sendiri.

Dalam pandangan Islam, memberi dengan ikhlas – semata-mata mengharap ridha Allah – adalah idealnya. Meskipun ada janji pahala, motivasi utamanya adalah ketaatan kepada Tuhan dan kasih sayang kepada sesama, bukan semata-mata untuk keuntungan pribadi yang instan. Ini adalah bentuk altruisme tertinggi.

4.2. Psikologi Kedermawanan

Ilmu psikologi telah banyak meneliti fenomena memberi dan menemukan beberapa fakta menarik:

  1. "Helper's High": Memberi memicu pelepasan endorfin, dopamin, dan oksitosin di otak, hormon-hormon yang terkait dengan rasa senang, kebahagiaan, dan ikatan sosial. Ini sering disebut sebagai "helper's high" atau kebahagiaan si penolong.
  2. Meningkatkan Rasa Koneksi Sosial: Memberi dapat memperkuat hubungan antarindividu dan kelompok, menciptakan rasa memiliki dan dukungan sosial.
  3. Mengurangi Stres dan Depresi: Dengan mengalihkan fokus dari masalah diri sendiri kepada kebutuhan orang lain, seseorang dapat mengalami penurunan stres dan gejala depresi.
  4. Meningkatkan Harga Diri: Tindakan memberi yang bermakna dapat meningkatkan rasa harga diri dan tujuan hidup, karena seseorang merasa telah memberikan kontribusi positif.
  5. Efek Bola Salju: Kedermawanan bersifat menular. Ketika seseorang melihat orang lain memberi, ia cenderung termotivasi untuk melakukan hal yang sama, menciptakan lingkaran kebaikan yang positif.

4.3. Memberi sebagai Investasi Jangka Panjang

Dari sudut pandang filosofis, memberi dapat dilihat sebagai investasi jangka panjang, baik dalam skala pribadi maupun sosial. Secara pribadi, memberi membangun karakter, menumbuhkan nilai-nilai mulia, dan menciptakan warisan kebaikan. Secara sosial, masyarakat yang dermawan adalah masyarakat yang lebih stabil, adil, dan sejahtera. Ini adalah investasi yang menghasilkan "dividen" dalam bentuk kebahagiaan, kedamaian, dan kemajuan kolektif.

5. Tantangan dan Hambatan dalam Menjadi "Wahib"

Meskipun idealnya setiap orang ingin menjadi seorang pemberi yang tulus, ada beberapa tantangan dan hambatan yang seringkali muncul dalam mewujudkan semangat "Wahib" dalam kehidupan nyata.

Ilustrasi tantangan dan hambatan dalam menggapai puncak kedermawanan, disimbolkan dengan rintangan di jalan.

5.1. Ketakutan akan Kekurangan (Kikir)

Salah satu hambatan terbesar adalah rasa takut akan kekurangan atau kemiskinan. Orang mungkin merasa bahwa jika mereka memberi, mereka akan kehilangan apa yang mereka miliki atau tidak akan memiliki cukup untuk diri sendiri dan keluarga. Ketakutan ini seringkali didorong oleh pandangan materialistik yang membatasi kekayaan pada hal-hal yang berwujud saja, mengabaikan keberlimpahan dari sumber yang tak terbatas.

Untuk mengatasi ini, seseorang perlu memperkuat keyakinan pada janji ilahi tentang rezeki dan pemahaman bahwa setiap pemberian justru membuka pintu-pintu keberkahan lainnya. Allah adalah Al-Wahhab, dan Dia tidak akan pernah mengurangi apa yang diberikan-Nya karena pemberian hamba-Nya.

5.2. Keinginan akan Pengakuan dan Pujian

Memberi dengan harapan mendapatkan pujian, pengakuan sosial, atau balasan materi adalah bentuk lain dari hambatan. Ini mengurangi keikhlasan dan kemurnian tindakan memberi. Meskipun pengakuan dapat menjadi motivator awal, tujuan akhirnya haruslah keridhaan Allah dan kebaikan sesama, bukan ego pribadi.

Praktik memberi secara diam-diam (sedekah sirr) sangat dianjurkan dalam banyak tradisi spiritual untuk memurnikan niat dan melatih jiwa agar tidak terikat pada pujian manusia.

5.3. Rasa Superioritas atau Merasa Lebih Baik

Beberapa orang mungkin memberi dengan perasaan superioritas, memandang rendah penerima, atau merasa bahwa mereka lebih baik karena mampu memberi. Ini merusak martabat penerima dan menghilangkan esensi kasih sayang dan empati yang seharusnya menyertai tindakan memberi. Kedermawanan sejati datang dengan kerendahan hati dan penghargaan terhadap martabat setiap individu.

5.4. Ketidakmampuan untuk Memulai

Bagi sebagian orang, memulai tindakan memberi bisa jadi sulit karena merasa tidak memiliki cukup harta, waktu, atau kemampuan. Namun, semangat "Wahib" tidak hanya terbatas pada pemberian materi besar. Ia juga mencakup pemberian kecil, senyum, kata-kata baik, bantuan fisik, atau berbagi ilmu. Setiap tindakan positif, sekecil apa pun, adalah bentuk memberi.

Kunci untuk mengatasi ini adalah memulai dari yang kecil, konsisten, dan menemukan cara memberi yang sesuai dengan kemampuan dan konteks pribadi.

6. Mewujudkan Semangat "Wahib" dalam Kehidupan Sehari-hari

Setelah memahami makna, keutamaan, dan tantangan "Wahib", langkah selanjutnya adalah mengintegrasikannya dalam praktik hidup sehari-hari. Menjadi seorang "Wahib" berarti senantiasa mencari peluang untuk memberi dan menyebarkan kebaikan.

Ilustrasi perisai, melambangkan perlindungan dan kekuatan yang datang dari tindakan memberi.

6.1. Berbagai Bentuk Pemberian

Pemberian tidak selalu berbentuk uang atau materi. Berikut adalah berbagai bentuk di mana kita dapat mewujudkan semangat "Wahib":

  1. Pemberian Materi:
    • Menyisihkan sebagian penghasilan untuk sedekah, infaq, atau zakat.
    • Membantu kerabat atau teman yang sedang kesulitan finansial.
    • Menyumbangkan pakaian, makanan, atau barang bekas yang masih layak pakai.
    • Berinvestasi pada proyek-proyek sosial atau kemanusiaan.
  2. Pemberian Waktu dan Tenaga:
    • Menjadi relawan untuk organisasi sosial atau lingkungan.
    • Menghabiskan waktu dengan orang tua, anak-anak, atau lansia yang kesepian.
    • Membantu tetangga yang membutuhkan bantuan fisik (misalnya, membersihkan rumah, mengurus kebun).
    • Mengajarkan keahlian atau pengetahuan kepada orang lain tanpa imbalan.
  3. Pemberian Ilmu dan Pengetahuan:
    • Menjadi mentor bagi yang lebih muda atau kurang berpengalaman.
    • Berbagi informasi yang bermanfaat melalui tulisan, ceramah, atau media sosial.
    • Membantu anak-anak belajar atau mengerjakan tugas sekolah.
    • Mengedukasi masyarakat tentang isu-isu penting.
  4. Pemberian Emosional dan Spiritual:
    • Memberikan senyum tulus dan salam hangat.
    • Mendengarkan dengan penuh perhatian keluh kesah orang lain.
    • Memberikan pujian dan kata-kata penyemangat.
    • Memaafkan kesalahan orang lain dan melupakan dendam.
    • Mendoakan kebaikan bagi sesama, baik yang dikenal maupun tidak.
    • Menghibur mereka yang berduka atau sedang dalam kesusahan.

6.2. Membangun Budaya "Wahib" dalam Keluarga dan Komunitas

Semangat "Wahib" dapat diturunkan dan diperkuat melalui pembiasaan dalam keluarga dan komunitas:

6.3. Keikhlasan sebagai Kunci Utama

Apapun bentuk pemberiannya, keikhlasan adalah kuncinya. Memberi dengan niat tulus untuk membantu sesama, mengharapkan ridha Allah, dan tanpa pamrih adalah yang membedakan "Wahib" sejati. Keikhlasan memastikan bahwa tindakan memberi adalah sumber pahala spiritual dan kebahagiaan batin yang langgeng, tidak bergantung pada respons atau pengakuan dari pihak lain.

Praktikkan introspeksi diri secara teratur untuk memastikan bahwa niat tetap murni. Jika muncul keinginan untuk pamer atau mengharap balasan, segera luruskan niat dan ingatlah bahwa "Wahib" yang sebenarnya adalah Dzat Yang Maha Pemberi, yang memberi tanpa batas dan tanpa pamrih.

7. "Wahib" dalam Konteks Global dan Modern

Di era globalisasi dan tantangan modern, semangat "Wahib" menjadi semakin relevan dan penting. Dunia dihadapkan pada berbagai krisis seperti kemiskinan ekstrem, perubahan iklim, konflik, dan pandemi. Dalam konteks ini, prinsip kedermawanan dan solidaritas global adalah krusial untuk menciptakan solusi berkelanjutan.

7.1. Filantropi Global dan Tanggung Jawab Sosial

Konsep "Wahib" dapat diwujudkan dalam skala yang lebih besar melalui filantropi global. Organisasi-organisasi nirlaba, yayasan, dan individu-individu dermawan berperan penting dalam menyediakan bantuan kemanusiaan, mendukung pendidikan, penelitian medis, dan pelestarian lingkungan di seluruh dunia.

Bahkan perusahaan kini semakin banyak yang mengadopsi konsep Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) sebagai bentuk pemberian. Ini mencerminkan kesadaran bahwa entitas ekonomi memiliki peran untuk tidak hanya mencari keuntungan, tetapi juga berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat dan planet.

7.2. Giving Ekonomi dan Inovasi Sosial

Di luar pemberian tradisional, muncul pula konsep-konsep "giving ekonomi" dan inovasi sosial yang berakar pada semangat "Wahib". Ini mencakup:

Semua ini adalah manifestasi modern dari prinsip "Wahib", di mana sumber daya, baik materi, intelektual, maupun digital, diberikan atau dibagikan untuk kepentingan yang lebih besar, melampaui kepentingan pribadi atau keuntungan semata.

7.3. Peran Individu dalam Kedermawanan Digital

Era digital juga membuka peluang baru bagi individu untuk menjadi "Wahib". Media sosial dan platform daring memungkinkan kita untuk:

Meskipun tantangan dunia modern terasa besar, semangat "Wahib" mengingatkan kita bahwa setiap tindakan memberi, sekecil apa pun, memiliki kekuatan untuk menciptakan perubahan positif, baik di tingkat lokal maupun global.

Kesimpulan

"Wahib" adalah sebuah konsep yang kaya dan multifaset, jauh melampaui sekadar definisi harfiahnya. Dari akar bahasanya yang berarti 'memberi', ia mencapai puncaknya sebagai Al-Wahhab, salah satu nama indah Allah SWT, yang melambangkan Dzat Yang Maha Pemberi, sumber segala anugerah dan keberlimpahan tanpa batas. Pemahaman akan Al-Wahhab menumbuhkan rasa syukur, tawakkal, dan motivasi untuk meneladani sifat mulia ini.

Dalam konteks manusia, menjadi "Wahib" berarti menginternalisasi nilai-nilai kedermawanan, empati, dan altruisme. Ini terwujud dalam berbagai bentuk pemberian – baik materi, waktu, tenaga, ilmu, maupun dukungan emosional – yang tidak hanya bermanfaat bagi penerima, tetapi juga membawa ketenangan batin, kebahagiaan, dan peningkatan kualitas hidup bagi pemberi. Meskipun terdapat tantangan seperti kekikiran dan harapan akan pengakuan, keikhlasan niat menjadi kunci utama untuk mengatasi hambatan ini.

Mewujudkan semangat "Wahib" dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu maupun kolektif, adalah fondasi bagi masyarakat yang harmonis, adil, dan sejahtera. Dari keluarga hingga komunitas global, tindakan memberi secara konsisten dapat membangun jembatan persaudaraan, mengurangi kesenjangan, dan menciptakan dampak positif yang berkesinambungan. Di era modern, konsep "Wahib" bahkan berkembang menjadi bentuk-bentuk inovasi sosial dan filantropi digital, menunjukkan adaptabilitas dan relevansinya yang tak lekang oleh waktu.

Akhirnya, "Wahib" adalah panggilan untuk setiap insan agar menjadi saluran kebaikan di dunia ini, mencerminkan sebagian kecil dari kemurahan Tuhan yang tak terhingga. Dengan menumbuhkan semangat memberi dalam setiap aspek kehidupan, kita tidak hanya memperkaya diri sendiri dan orang lain, tetapi juga berkontribusi pada penciptaan dunia yang lebih penuh kasih, damai, dan penuh berkah.