Unitarisme: Memahami Negara Kesatuan dan Dinamikanya

Ilustrasi Sistem Unitarisme Diagram yang menunjukkan sebuah entitas pusat yang kuat, disimbolkan dengan bentuk heksagon, yang mengontrol dan mengkoordinasikan empat entitas regional yang lebih kecil, disimbolkan dengan bentuk lingkaran. Garis-garis menghubungkan entitas regional ke pusat, melambangkan aliran kekuasaan dan otoritas dari pusat ke daerah. Ini merepresentasikan struktur pemerintahan unitaris. PUSAT Daerah A Daerah B Daerah C Daerah D

Ilustrasi struktur pemerintahan Unitarisme, di mana kekuasaan utama berada di tangan pemerintah pusat.

Unitarisme, atau sering disebut sebagai negara kesatuan, adalah salah satu bentuk struktur pemerintahan paling fundamental dan umum di dunia. Dalam sistem ini, seluruh kekuasaan kedaulatan negara terpusat pada satu entitas tunggal, yaitu pemerintah pusat. Ini berarti bahwa semua tingkat pemerintahan di bawah pusat—baik itu provinsi, negara bagian (jika ada), kabupaten, atau kota—merupakan subordinat dan hanya menjalankan kekuasaan yang didelegasikan oleh pemerintah pusat. Tidak ada pembagian kekuasaan yang inheren atau kedaulatan terpisah bagi entitas sub-nasional, melainkan mereka beroperasi sebagai perpanjangan tangan atau unit administratif dari pusat.

Konsep unitarisme menempatkan penekanan kuat pada kesatuan nasional, konsistensi hukum, dan efisiensi administrasi. Ide dasarnya adalah bahwa untuk mencapai stabilitas dan kohesi, harus ada satu suara yang dominan dalam membuat kebijakan dan satu sumber otoritas yang tak terbantahkan. Hal ini berbeda secara fundamental dengan federalisme, di mana kekuasaan dibagi secara konstitusional antara pemerintah pusat dan unit-unit pemerintahan sub-nasional yang memiliki kedaulatan sendiri dalam lingkup tertentu. Memahami unitarisme tidak hanya sekadar mengetahui definisinya, melainkan juga menelusuri akar sejarah, ciri-ciri khas, dinamika internal, serta dampaknya terhadap kehidupan politik, ekonomi, dan sosial suatu negara.

Artikel ini akan mengupas tuntas tentang unitarisme, dimulai dari definisinya yang mendalam, ciri-ciri pokok yang membedakannya dari sistem lain, perbandingan komprehensif dengan federalisme, berbagai jenis unitarisme, kelebihan dan kekurangannya, hingga studi kasus negara-negara yang menganut sistem ini. Kita juga akan membahas bagaimana unitarisme beradaptasi di era modern dan menghadapi berbagai tantangan kontemporer.

Definisi Mendalam Unitarisme

Secara etimologi, kata "unitarisme" berasal dari kata Latin "unitas" yang berarti satu. Dalam konteks kenegaraan, unitarisme merujuk pada prinsip bahwa negara itu adalah satu kesatuan yang tidak terpecah belah, baik secara geografis maupun secara otoritas pemerintahan. Kekuasaan tertinggi berada di tangan satu badan pemerintahan yang memiliki yurisdiksi atas seluruh wilayah negara.

Para ahli ilmu politik memberikan definisi yang bervariasi namun memiliki inti yang sama. K.C. Wheare, seorang ahli konstitusi, mendefinisikan negara unitaris sebagai negara di mana semua otoritas pemerintahan diatur oleh satu pemerintah pusat, yang secara legal memegang semua kekuasaan. Unit-unit lokal atau regional dapat dibentuk, tetapi keberadaan dan kekuasaan mereka bergantung sepenuhnya pada pemerintah pusat.

Dalam pandangan yang lebih luas, unitarisme bukan hanya tentang struktur kekuasaan, tetapi juga filosofi politik yang mengutamakan keseragaman, kohesi nasional, dan stabilitas. Pemerintah pusat memiliki wewenang penuh untuk membentuk, mengubah, atau bahkan menghapus unit-unit administrasi lokal atau regional. Undang-undang nasional berlaku seragam di seluruh wilayah, meskipun mungkin ada variasi dalam implementasinya yang disesuaikan dengan kondisi lokal, namun tetap dalam kerangka kebijakan dan pengawasan pusat.

Ciri kunci dari definisi ini adalah bahwa otoritas sub-nasional tidak memiliki kedaulatan yang berasal dari konstitusi itu sendiri, melainkan menerima kekuasaan melalui delegasi dari pusat. Ini berarti bahwa pemerintah pusat dapat menarik kembali kekuasaan tersebut kapan saja. Konsekuensinya, tidak ada entitas sub-nasional yang memiliki hak untuk memisahkan diri atau memiliki konstitusi sendiri yang independen dari konstitusi nasional.

Sejarah unitarisme dapat ditelusuri jauh ke belakang, bahkan sebelum munculnya konsep negara modern. Banyak kerajaan dan imperium kuno beroperasi dengan prinsip-prinsip unitaris, di mana kekuasaan terpusat pada seorang raja atau kaisar dan otoritas lokal hanya bertindak sebagai agennya. Dengan bangkitnya negara-bangsa modern, terutama setelah Revolusi Perancis, unitarisme menjadi model yang dominan di Eropa, terutama karena ia dianggap sebagai cara terbaik untuk menyatukan wilayah-wilayah yang berbeda di bawah satu identitas nasional yang kuat dan sistem hukum yang seragam.

Ciri-Ciri Utama Sistem Unitarisme

Untuk lebih memahami unitarisme, penting untuk mengidentifikasi ciri-ciri pokok yang melekat pada sistem pemerintahan ini. Ciri-ciri ini tidak hanya mendefinisikan unitarisme tetapi juga membedakannya dari bentuk negara lain, khususnya federalisme.

  1. Kedaulatan Tunggal pada Pemerintah Pusat: Ini adalah ciri paling fundamental. Dalam negara unitaris, kekuasaan tertinggi untuk membuat keputusan, menetapkan hukum, dan menjalankan pemerintahan sepenuhnya berada di tangan pemerintah pusat. Tidak ada lembaga atau entitas lain di dalam negara yang memiliki kedaulatan yang sejajar atau independen dari pusat. Semua unit administratif lokal atau regional adalah bawahan dari pemerintah pusat.
  2. Satu Konstitusi Nasional: Negara unitaris memiliki satu konstitusi tunggal yang berlaku untuk seluruh wilayah negara dan mengatur struktur serta fungsi semua tingkat pemerintahan. Tidak ada konstitusi terpisah untuk provinsi atau daerah lain. Amendemen konstitusi juga hanya dapat dilakukan oleh badan legislatif pusat. Konstitusi ini menjadi payung hukum tertinggi yang mengikat seluruh komponen negara.
  3. Satu Sistem Hukum Nasional: Seluruh negara beroperasi di bawah satu kerangka hukum yang seragam. Meskipun mungkin ada peraturan daerah atau kebijakan lokal, peraturan ini tidak boleh bertentangan dengan hukum nasional dan harus sesuai dengan arahan pemerintah pusat. Prinsip ini memastikan keadilan yang setara dan perlakuan hukum yang konsisten bagi semua warga negara di mana pun mereka berada di dalam negara.
  4. Pembentukan dan Penghapusan Unit Sub-Nasional oleh Pusat: Pemerintah pusat memiliki hak prerogatif untuk membentuk, mengubah batas-batas, atau bahkan menghapus unit-unit administrasi di bawahnya (seperti provinsi, kabupaten, atau kota). Otonomi yang diberikan kepada unit-unit ini hanyalah delegasi kekuasaan, bukan pembagian kekuasaan konstitusional. Pusat dapat menarik kembali wewenang yang telah didelegasikan kapan saja.
  5. Pengawasan Ketat Pemerintah Pusat terhadap Daerah: Pemerintah pusat memiliki mekanisme pengawasan yang kuat untuk memastikan bahwa kebijakan nasional dilaksanakan dengan benar oleh unit-unit sub-nasional. Ini bisa melalui penunjukan pejabat pusat di daerah (misalnya, gubernur yang ditunjuk oleh presiden), inspeksi reguler, atau persetujuan anggaran daerah oleh pusat. Pengawasan ini bertujuan untuk menjaga keselarasan dan integritas kebijakan nasional.
  6. Keseragaman Kebijakan Nasional: Kebijakan-kebijakan penting seperti pertahanan, luar negeri, moneter, pendidikan dasar, dan kesehatan umumnya ditetapkan secara nasional oleh pemerintah pusat dan berlaku seragam di seluruh wilayah. Hal ini bertujuan untuk menciptakan identitas nasional yang kuat dan mencegah disparitas yang signifikan antar daerah dalam pelayanan publik dasar.
  7. Tidak Ada Hak Separatis: Karena tidak ada kedaulatan yang terpisah di tingkat sub-nasional, secara inheren tidak ada hak bagi daerah untuk memisahkan diri dari negara kesatuan. Prinsip ini adalah fondasi untuk menjaga keutuhan wilayah dan persatuan nasional. Setiap upaya separatisme akan dianggap sebagai tindakan inkonstitusional dan pemberontakan terhadap kedaulatan negara.
  8. Fleksibilitas Administratif: Meskipun ada penekanan pada keseragaman, negara unitaris seringkali menunjukkan fleksibilitas dalam struktur administratifnya. Pemerintah pusat dapat menyesuaikan tingkat desentralisasi atau delegasi kekuasaan kepada daerah sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokal, tanpa harus mengubah konstitusi secara fundamental. Ini memungkinkan adaptasi tanpa mengorbankan prinsip kesatuan.

Perbandingan Komprehensif: Unitarisme vs. Federalisme

Untuk memahami unitarisme secara lebih mendalam, sangat penting untuk membandingkannya dengan sistem pemerintahan yang paling kontras dengannya: federalisme. Perbedaan antara keduanya tidak hanya bersifat struktural, tetapi juga filosofis dan memiliki implikasi yang signifikan terhadap cara negara dijalankan dan bagaimana warganya berinteraksi dengan pemerintah.

1. Sumber Kedaulatan

2. Konstitusi dan Sistem Hukum

3. Pembagian Kekuasaan

4. Fleksibilitas Konstitusi

5. Representasi Daerah di Pusat

6. Penyelesaian Konflik

7. Hak Separatis

Secara singkat, unitarisme adalah tentang satu kesatuan dan sentralisasi kekuasaan, sementara federalisme adalah tentang pembagian kekuasaan dan kedaulatan ganda. Pilihan antara kedua sistem ini seringkali didasarkan pada sejarah, budaya, geografi, dan kebutuhan politik suatu negara.

Jenis-Jenis Unitarisme

Meskipun inti dari unitarisme adalah kekuasaan pusat yang dominan, bukan berarti semua negara unitaris beroperasi dengan cara yang sama persis. Ada variasi dalam tingkat sentralisasi dan cara kekuasaan didelegasikan kepada unit-unit sub-nasional. Berdasarkan tingkat desentralisasi atau konsentrasi kekuasaan, unitarisme dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis:

1. Unitarisme Sentralistik Murni (Highly Centralized Unitarism)

Ini adalah bentuk unitarisme yang paling ketat, di mana pemerintah pusat memegang kendali yang sangat besar atas semua aspek pemerintahan di seluruh wilayah. Hampir semua keputusan penting dibuat di tingkat pusat, dan unit-unit lokal atau regional memiliki sedikit sekali otonomi atau diskresi. Mereka berfungsi sebagian besar sebagai agen pelaksana kebijakan yang telah ditetapkan oleh pusat. Pejabat lokal seringkali ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat dan bertanggung jawab langsung kepada pusat.

2. Unitarisme Desentralistik (Decentralized Unitarism)

Bentuk ini juga mengklaim kedaulatan tunggal di tangan pemerintah pusat, namun memberikan tingkat otonomi dan diskresi yang lebih besar kepada unit-unit pemerintahan sub-nasional. Pusat mendelegasikan sejumlah kekuasaan dan tanggung jawab kepada daerah, memungkinkan mereka untuk membuat keputusan mengenai urusan-urusan lokal tertentu, seperti pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur lokal, dalam kerangka kebijakan nasional. Delegasi ini biasanya diatur oleh undang-undang atau peraturan pemerintah pusat, yang berarti pusat masih dapat menarik kembali atau mengubahnya.

3. Unitarisme Regional (Regionalised Unitarism / Devolution)

Ini adalah bentuk unitarisme yang lebih maju, seringkali disebut sebagai 'devolution' (penyerahan kekuasaan). Dalam model ini, pemerintah pusat secara legislatif menyerahkan kekuasaan yang substansial kepada badan-badan legislatif dan eksekutif regional yang dipilih secara lokal. Meskipun parlemen pusat tetap memegang kedaulatan tertinggi (misalnya, dapat mencabut undang-undang devolution), dalam praktiknya, kekuasaan yang diserahkan itu bersifat semi-permanen dan memberikan otonomi yang jauh lebih besar daripada sekadar desentralisasi administratif. Daerah-daerah ini mungkin memiliki undang-undang sendiri yang mengatur masalah-masalah tertentu, seperti pendidikan, kesehatan, atau hukum perdata, yang berbeda dari daerah lain di negara yang sama.

Pemilihan jenis unitarisme seringkali mencerminkan sejarah, keragaman etnis dan budaya, serta dinamika politik internal suatu negara. Negara yang sangat homogen mungkin cenderung pada sentralistik murni, sementara negara dengan keragaman regional yang signifikan mungkin memilih desentralisasi atau bahkan regionalisasi untuk mengakomodasi aspirasi lokal tanpa mengorbankan kesatuan nasional.

Kelebihan Sistem Unitarisme

Sistem unitarisme menawarkan beberapa keuntungan yang membuatnya menjadi pilihan yang menarik bagi banyak negara di seluruh dunia. Kelebihan-kelebihan ini seringkali menjadi argumen utama bagi para pendukung negara kesatuan:

  1. Efisiensi dalam Pengambilan Keputusan dan Implementasi Kebijakan: Dengan kekuasaan yang terpusat, proses pengambilan keputusan menjadi lebih cepat dan terkoordinasi. Tidak ada kebutuhan untuk bernegosiasi atau mendapatkan persetujuan dari berbagai tingkat pemerintahan yang berdaulat, seperti dalam sistem federal. Kebijakan dapat dirumuskan dan dilaksanakan dengan lebih seragam di seluruh negara, mengurangi birokrasi dan potensi konflik jurisdiksi. Ini sangat menguntungkan dalam situasi darurat atau ketika diperlukan respons cepat terhadap isu-isu nasional.
  2. Stabilitas Politik dan Kesatuan Nasional yang Kuat: Unitarisme mempromosikan identitas nasional yang tunggal dengan mengurangi potensi fragmentasi dan persaingan antar daerah. Dengan satu pemerintah pusat yang kuat, risiko separatisme atau konflik antar daerah dapat diminimalisir. Sistem ini cenderung lebih stabil karena tidak ada pertarungan kekuasaan konstitusional antara pusat dan daerah. Ini sangat penting bagi negara-negara yang baru merdeka atau memiliki keragaman etnis dan budaya yang tinggi, di mana persatuan nasional menjadi prioritas utama.
  3. Keseragaman Hukum dan Peraturan: Dengan satu sistem hukum yang berlaku di seluruh negara, unitarisme memastikan keadilan yang setara dan perlakuan yang konsisten bagi semua warga negara. Hal ini juga menyederhanakan administrasi hukum dan mengurangi kebingungan yang mungkin timbul dari beragamnya peraturan di tingkat lokal. Bisnis dan investasi juga lebih mudah beroperasi dalam kerangka hukum yang seragam.
  4. Penghematan Biaya Administratif: Dalam banyak kasus, sistem unitaris dapat lebih hemat biaya karena mengurangi duplikasi lembaga pemerintahan, personel, dan infrastruktur. Tidak perlu ada dua set lengkap lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang berdaulat di tingkat pusat dan daerah, seperti dalam federalisme. Sumber daya dapat dialokasikan lebih efisien ke area yang paling membutuhkan tanpa terpecah-pecah oleh kepentingan regional yang berbeda.
  5. Kemudahan dalam Perencanaan dan Pengembangan Nasional: Dengan kontrol pusat yang kuat, pemerintah dapat lebih mudah merencanakan dan melaksanakan proyek-proyek pembangunan skala besar yang mencakup seluruh wilayah negara, seperti pembangunan infrastruktur nasional (jalan tol, pelabuhan, bandara) atau program sosial berskala nasional (pendidikan, kesehatan). Ini memungkinkan alokasi sumber daya yang lebih strategis untuk mencapai tujuan pembangunan nasional.
  6. Responsif terhadap Krisis Nasional: Ketika negara menghadapi krisis (bencana alam, pandemi, invasi militer), pemerintah pusat dalam sistem unitaris dapat mengerahkan sumber daya dan mengeluarkan perintah dengan cepat dan efektif ke seluruh wilayah tanpa hambatan birokrasi atau perbedaan yurisdiksi yang signifikan. Koordinasi penanganan krisis menjadi lebih efisien.
  7. Transparansi dan Akuntabilitas yang Lebih Jelas: Dengan satu sumber kekuasaan utama, seringkali lebih mudah bagi warga negara untuk mengidentifikasi siapa yang bertanggung jawab atas kebijakan tertentu. Akuntabilitas publik cenderung lebih terpusat dan dapat diawasi dengan lebih jelas oleh masyarakat.

Kekurangan Sistem Unitarisme

Meskipun memiliki berbagai kelebihan, sistem unitarisme juga tidak luput dari kelemahan dan tantangan yang perlu dipertimbangkan. Kekurangan-kekurangan ini seringkali menjadi dasar kritik terhadap negara kesatuan:

  1. Potensi Otoriterisme dan Sentralisasi Berlebihan: Konsentrasi kekuasaan yang besar di tangan pemerintah pusat dapat membuka pintu bagi potensi penyalahgunaan kekuasaan. Jika tidak ada mekanisme pengawasan dan penyeimbang yang kuat, pemerintah pusat bisa menjadi otoriter, mengabaikan aspirasi lokal, atau bahkan menekan perbedaan pendapat. Keputusan bisa dibuat oleh segelintir elite di pusat tanpa memahami atau mempertimbangkan dampak di daerah.
  2. Kurangnya Responsivitas terhadap Kebutuhan Lokal: Keputusan yang dibuat di pusat mungkin tidak selalu sesuai atau responsif terhadap kondisi, kebutuhan, dan preferensi unik masyarakat di daerah yang berbeda. Jarak antara pembuat kebijakan dan penerima kebijakan bisa terlalu jauh, menyebabkan kebijakan yang "satu ukuran untuk semua" yang tidak efektif atau bahkan merugikan bagi beberapa daerah.
  3. Kurangnya Partisipasi Politik Lokal: Dengan kekuasaan yang terpusat, partisipasi politik di tingkat lokal mungkin menjadi kurang berarti. Warga daerah bisa merasa bahwa suara mereka tidak terlalu berpengaruh karena keputusan penting dibuat jauh di ibu kota. Ini dapat menyebabkan apatisme politik di tingkat akar rumput dan kurangnya representasi yang efektif bagi kelompok minoritas atau kepentingan regional.
  4. Birokrasi yang Kaku dan Lambat: Meskipun unitarisme bertujuan untuk efisiensi, sentralisasi yang berlebihan justru dapat menciptakan birokrasi yang kaku dan lambat. Semua keputusan, bahkan yang kecil sekalipun, mungkin harus melalui persetujuan pusat, menyebabkan penundaan dan ketidakefisienan. Antrean panjang birokrasi ini bisa menghambat inovasi dan adaptasi cepat di tingkat lokal.
  5. Potensi Diskriminasi dan Ketidakadilan Regional: Pemerintah pusat mungkin cenderung mengalokasikan sumber daya dan perhatian lebih besar ke wilayah-wilayah yang lebih dekat dengan pusat kekuasaan atau memiliki kepentingan politik yang kuat, sementara daerah-daerah terpencil atau minoritas dapat terabaikan. Hal ini bisa menimbulkan ketidakpuasan, kesenjangan pembangunan, dan bahkan konflik regional.
  6. Rentannya terhadap Pengabaian Identitas dan Budaya Lokal: Dalam upaya menciptakan kesatuan nasional, pemerintah pusat mungkin secara tidak sengaja atau sengaja menekan identitas, bahasa, atau budaya lokal yang berbeda. Kebijakan pendidikan atau kebudayaan yang seragam bisa mengikis keunikan dan keberagaman regional, menimbulkan resistensi dan ketidakpuasan.
  7. Beban Kerja Berlebihan bagi Pemerintah Pusat: Dengan tanggung jawab yang luas atas seluruh negara, pemerintah pusat bisa kewalahan dengan beban kerja yang sangat besar. Ini dapat menyebabkan keputusan yang kurang matang, pengawasan yang tidak memadai, atau bahkan korupsi karena kurangnya kapasitas untuk mengelola semua aspek pemerintahan secara efektif.

Perlu dicatat bahwa banyak kekurangan ini dapat dimitigasi melalui kebijakan desentralisasi yang efektif dan penguatan tata kelola pemerintahan di tingkat lokal, bahkan dalam kerangka negara kesatuan.

Studi Kasus Negara-Negara Unitaris

Untuk memahami bagaimana unitarisme beroperasi dalam praktik, mari kita telaah beberapa contoh negara yang menganut sistem ini, dengan fokus pada dinamika dan adaptasi mereka terhadap tantangan modern.

1. Indonesia: Negara Kesatuan dengan Otonomi Luas

Indonesia secara konstitusional adalah negara kesatuan (Pasal 1 Ayat 1 UUD NRI 1945 menyatakan "Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik"). Namun, perjalanan Indonesia sebagai negara kesatuan telah diwarnai oleh dinamika antara sentralisasi dan desentralisasi.

Pada awal kemerdekaan hingga era Orde Baru, Indonesia menganut unitarisme yang sangat sentralistik. Hampir semua keputusan politik, ekonomi, dan administratif dibuat oleh pemerintah pusat di Jakarta. Provinsi dan kabupaten/kota berfungsi sebagai perpanjangan tangan pusat dengan sedikit sekali otonomi. Kebijakan yang seragam diterapkan di seluruh nusantara, meskipun keragaman geografis, etnis, dan budaya Indonesia sangatlah besar.

Sentralisasi yang berlebihan ini, meskipun pada awalnya bertujuan untuk menjaga persatuan di tengah ancaman disintegrasi, pada akhirnya menimbulkan berbagai masalah: ketidakpuasan daerah karena merasa diabaikan, kesenjangan pembangunan yang tajam, korupsi yang terpusat, dan kurangnya responsivitas terhadap kebutuhan lokal. Beberapa daerah bahkan menghadapi gejolak separatisme yang signifikan.

Setelah reformasi pada tahun 1998, Indonesia mengalami pergeseran besar menuju desentralisasi kekuasaan melalui undang-undang otonomi daerah (UU No. 22/1999 yang kemudian diganti UU No. 32/2004 dan kemudian UU No. 23/2014). Meskipun tetap berstatus negara kesatuan, daerah diberikan otonomi yang sangat luas untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Ini mencakup otonomi dalam bidang pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, lingkungan hidup, pertanian, dan banyak lagi.

Pemerintah pusat masih memegang kewenangan di bidang-bidang strategis seperti pertahanan, luar negeri, moneter, yustisi, agama, dan kebijakan fiskal. Daerah memiliki DPRD yang dipilih secara langsung dan kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) yang juga dipilih oleh rakyat. Mereka memiliki APBD sendiri dan kewenangan untuk membuat peraturan daerah (Perda), asalkan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Model ini menjadikan Indonesia sebagai contoh unitarisme desentralistik yang memberikan ruang sangat besar bagi pemerintahan lokal untuk berinovasi dan merespons kebutuhan masyarakatnya, tanpa mengubah statusnya sebagai negara kesatuan.

2. Prancis: Arsitek Klasik Unitarisme Sentralistik yang Beradaptasi

Prancis adalah salah satu contoh paling klasik dari negara unitaris, sering disebut sebagai "ibu" dari sistem sentralistik. Sejak Revolusi Prancis, negara ini secara konsisten mempertahankan model pemerintahan yang sangat terpusat, dengan Paris sebagai pusat kekuasaan yang mutlak. Filosofi di balik ini adalah bahwa persatuan nasional dan keseragaman hukum adalah kunci untuk stabilitas dan kemakmuran.

Secara tradisional, pemerintah pusat Prancis sangat kuat. Seluruh wilayah negara dibagi menjadi "départements" yang dikelola oleh "préfet" (prefek) yang ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat dan bertanggung jawab langsung kepada Kementerian Dalam Negeri. Prefek adalah perwakilan negara di daerah, memastikan pelaksanaan kebijakan nasional dan mengawasi jalannya pemerintahan lokal. Pemerintah lokal (komune) memiliki otonomi yang sangat terbatas.

Namun, seperti Indonesia, Prancis juga menghadapi tantangan modern. Sentralisasi yang berlebihan seringkali dikritik karena kurangnya responsivitas terhadap kebutuhan lokal dan lambatnya birokrasi. Oleh karena itu, sejak tahun 1980-an, Prancis telah melakukan serangkaian reformasi desentralisasi yang signifikan. UU Desentralisasi 1982-1983, yang dikenal sebagai "Lois Defferre", memberikan lebih banyak kekuasaan kepada entitas lokal yang dipilih, seperti dewan regional dan departemen. Prefek tidak lagi memiliki kekuasaan eksekutif tetapi bertindak sebagai wakil negara dan pengawas legalitas tindakan daerah.

Meskipun demikian, Prancis tetaplah negara unitaris. Pemerintah pusat masih memiliki wewenang legislatif tertinggi dan dapat mengubah undang-undang desentralisasi. Otonomi daerah Prancis adalah delegasi dari pusat, bukan pembagian kedaulatan konstitusional. Saat ini, Prancis adalah contoh unitarisme yang telah beradaptasi dari model sentralistik murni menjadi unitarisme desentralistik, di mana pemerintah daerah memiliki peran yang lebih besar dalam mengelola urusan mereka sendiri, sambil tetap berada di bawah payung kedaulatan nasional tunggal.

3. Jepang: Konsistensi dan Adaptasi Ekonomi

Jepang juga merupakan negara unitaris dengan sejarah sentralisasi yang panjang, terutama di bawah sistem kekaisaran dan kemudian selama periode modernisasi Meiji. Pemerintah pusat di Tokyo memegang kekuasaan dominan atas 47 prefektur. Prefektur dan munisipalitas di Jepang berfungsi sebagai unit administratif lokal yang menjalankan kebijakan nasional dan mengelola urusan lokal dalam kerangka yang ditetapkan oleh pusat.

Sentralisasi di Jepang telah memainkan peran penting dalam pembangunan ekonominya yang pesat pasca-Perang Dunia II. Kebijakan industri, pendidikan, dan infrastruktur dapat dikoordinasikan secara nasional dengan sangat efektif, memungkinkan Jepang untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang luar biasa. Kementerian dan lembaga pemerintah pusat memiliki pengaruh besar dalam perencanaan dan implementasi pembangunan di seluruh negeri.

Namun, seperti negara-negara unitaris lainnya, Jepang juga telah melakukan upaya untuk mendesentralisasikan kekuasaan. Sejak tahun 1990-an, ada dorongan untuk memberikan lebih banyak otonomi kepada pemerintah prefektur dan munisipalitas, dengan tujuan untuk meningkatkan responsivitas terhadap kebutuhan lokal dan mendorong inovasi. Reformasi ini termasuk transfer wewenang dari pusat ke daerah, terutama dalam bidang-bidang seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial.

Meskipun ada desentralisasi, Jepang tetap memegang teguh prinsip unitarisme. Konstitusi Jepang tidak membagi kedaulatan antara pusat dan daerah; semua kekuasaan daerah berasal dari undang-undang yang dibuat oleh Parlemen Nasional (Diet). Sistem ini memastikan konsistensi dalam kebijakan nasional sambil tetap memberikan fleksibilitas tertentu bagi pemerintah lokal untuk mengelola urusan mereka. Jepang adalah contoh bagaimana unitarisme dapat menjadi fondasi yang kuat untuk pembangunan ekonomi dan sosial yang terkoordinasi.

4. Britania Raya: Unitarisme dengan Devolution (Regionalisasi)

Britania Raya (Inggris Raya) adalah contoh unik dari unitarisme yang telah mengadopsi bentuk regionalisasi atau "devolution". Meskipun tidak memiliki konstitusi tertulis tunggal dalam satu dokumen, kedaulatan parlemen di Westminster (Parlemen Inggris) secara tradisional adalah ciri utama dari sistem pemerintahan Inggris. Ini berarti Parlemen Inggris dapat membuat atau mencabut undang-undang apa pun, dan tidak ada badan lain yang dapat mengklaim kedaulatan yang setara.

Namun, sejak akhir abad ke-20, Britania Raya telah memberikan kekuasaan legislatif dan eksekutif yang signifikan kepada entitas sub-nasional, yaitu Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara, melalui undang-undang devolution. Ini telah menghasilkan pembentukan Parlemen Skotlandia, Majelis Wales, dan Majelis Irlandia Utara, yang memiliki wewenang untuk membuat undang-undang dalam bidang-bidang tertentu seperti pendidikan, kesehatan, keadilan, dan lingkungan hidup.

Meskipun memiliki parlemen dan pemerintah sendiri, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara masih merupakan bagian dari negara kesatuan Britania Raya. Parlemen Inggris di Westminster secara teori masih dapat mencabut undang-undang devolution dan mengembalikan semua kekuasaan ke pusat. Inilah yang membedakannya dari sistem federal, di mana pembagian kekuasaan dijamin oleh konstitusi dan tidak dapat ditarik kembali secara sepihak oleh pemerintah pusat. Devolution di Britania Raya adalah contoh unitarisme yang sangat fleksibel dan adaptif, yang mengakomodasi identitas nasional yang kuat dan perbedaan budaya di antara konstituennya, sambil tetap mempertahankan prinsip kedaulatan parlemen pusat.

Kasus Britania Raya menunjukkan bahwa unitarisme tidak harus berarti sentralisasi yang kaku. Melalui devolution, sebuah negara unitaris dapat memberikan otonomi yang substansial kepada daerah-daerahnya, memungkinkan mereka untuk memiliki lembaga legislatif dan eksekutif sendiri, tanpa harus beralih ke sistem federal. Model ini menjadi inspirasi bagi negara-negara unitaris lain yang ingin merespons aspirasi regional tanpa mengorbankan integritas teritorial.

Unitarisme di Era Modern: Tantangan dan Adaptasi

Di era globalisasi dan digitalisasi saat ini, sistem unitarisme, seperti halnya bentuk pemerintahan lainnya, menghadapi berbagai tantangan dan terus beradaptasi. Tuntutan akan partisipasi yang lebih besar, transparansi, dan responsivitas lokal semakin meningkat, bahkan di negara-negara yang secara tradisional sangat sentralistik.

1. Tekanan Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Salah satu tantangan terbesar bagi unitarisme modern adalah tekanan yang terus-menerus untuk mendesentralisasikan kekuasaan. Warga negara dan komunitas lokal semakin menuntut kontrol yang lebih besar atas urusan mereka sendiri, merasa bahwa keputusan yang dibuat di ibu kota seringkali tidak relevan atau tidak efektif. Ini terutama terjadi di negara-negara dengan keragaman geografis, etnis, dan budaya yang tinggi. Untuk mempertahankan legitimasi dan stabilitas, banyak negara unitaris telah mengadopsi kebijakan desentralisasi, memberikan lebih banyak wewenang dan sumber daya kepada pemerintah lokal, seperti yang terlihat di Indonesia dan Prancis.

2. Mengelola Keragaman Regional dan Nasional

Unitarisme, dengan penekanannya pada kesatuan dan keseragaman, dapat menghadapi kesulitan dalam mengelola keragaman regional yang kuat, terutama jika ada kelompok etnis atau budaya yang dominan di wilayah tertentu. Konflik dapat muncul jika pemerintah pusat tidak peka terhadap perbedaan-perbedaan ini. Model devolution seperti di Britania Raya adalah salah satu cara adaptasi, memungkinkan otonomi substansial bagi wilayah-wilayah yang memiliki identitas kuat tanpa membubarkan negara kesatuan.

3. Peran Teknologi dan Partisipasi Publik

Kemajuan teknologi informasi telah mengubah lanskap partisipasi publik. Media sosial dan platform digital memungkinkan warga negara untuk menyuarakan pendapat dan mengorganisir diri dengan lebih mudah, menekan pemerintah pusat untuk lebih transparan dan akuntabel. Negara unitaris modern harus mencari cara untuk memanfaatkan teknologi ini untuk meningkatkan partisipasi lokal dan memastikan bahwa suara dari seluruh penjuru negara didengar, bukan hanya dari pusat.

4. Tantangan Ekonomi dan Pembangunan Berkelanjutan

Di bidang ekonomi, unitarisme harus menyeimbangkan antara perencanaan ekonomi nasional yang terkoordinasi dan kebutuhan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi lokal yang berkelanjutan. Desentralisasi ekonomi dapat membantu mengidentifikasi peluang lokal dan mengalokasikan sumber daya secara lebih efisien. Pemerintah pusat harus menemukan cara untuk mendorong inovasi dan daya saing di daerah, sambil tetap menjaga stabilitas makroekonomi.

5. Respons terhadap Krisis Global

Pandemi global, perubahan iklim, dan krisis ekonomi lintas batas menunjukkan pentingnya respons yang terkoordinasi dan cepat. Dalam hal ini, unitarisme dengan struktur pengambilan keputusannya yang terpusat dapat menjadi keuntungan. Namun, penting juga untuk memastikan bahwa respons pusat cukup fleksibel untuk disesuaikan dengan kondisi lokal yang berbeda-beda, dan bahwa ada mekanisme yang memungkinkan umpan balik dan adaptasi dari bawah ke atas.

Secara keseluruhan, unitarisme modern ditandai oleh pergeseran dari sentralisasi yang kaku menuju bentuk yang lebih desentralistik atau regionalistik. Ini adalah upaya untuk menggabungkan kekuatan dari pemerintahan pusat yang kuat dengan fleksibilitas dan responsivitas otonomi daerah, menciptakan "negara kesatuan yang diperbarui" yang lebih tangguh dan inklusif di abad ke-21.

Kesimpulan

Unitarisme, sebagai salah satu pilar utama struktur kenegaraan, telah membuktikan diri sebagai model pemerintahan yang tangguh dan adaptif sepanjang sejarah. Intinya terletak pada konsentrasi kedaulatan di tangan pemerintah pusat, yang menjadi sumber otoritas tunggal bagi seluruh wilayah negara. Ciri khasnya meliputi satu konstitusi dan sistem hukum nasional, kemampuan pusat untuk membentuk atau menghapus unit sub-nasional, serta pengawasan ketat terhadap daerah. Perbedaannya dengan federalisme, yang membagi kedaulatan secara konstitusional, menjadi penanda fundamental dalam studi ilmu politik.

Kelebihan unitarisme, seperti efisiensi dalam pengambilan keputusan, stabilitas politik, keseragaman hukum, dan kemudahan perencanaan nasional, telah menjadi alasan kuat mengapa banyak negara, termasuk Indonesia, Prancis, Jepang, dan Britania Raya, memilih dan mempertahankan sistem ini. Negara kesatuan seringkali dianggap sebagai bentuk yang paling efektif untuk membangun identitas nasional yang kuat dan memastikan kohesi sosial di tengah keragaman. Dengan satu suara dominan dari pemerintah pusat, negara-negara unitaris dapat merespons tantangan nasional dengan cepat dan mengimplementasikan kebijakan yang seragam untuk seluruh warganya.

Namun, unitarisme juga memiliki kelemahan yang signifikan, terutama potensi otoriterisme, kurangnya responsivitas terhadap kebutuhan lokal yang spesifik, lambatnya birokrasi, dan risiko pengabaian identitas regional. Kekurangan-kekurangan ini seringkali memicu tekanan untuk desentralisasi dan otonomi yang lebih besar di tingkat daerah. Pengalaman Indonesia dengan otonomi daerah yang luas, Prancis dengan desentralisasi bertahap, dan Britania Raya dengan devolution regional, menunjukkan bahwa negara-negara unitaris modern terus beradaptasi untuk menyeimbangkan antara kebutuhan akan kesatuan dan efisiensi di satu sisi, dengan aspirasi lokal dan keberagaman di sisi lain.

Di era kontemporer, unitarisme bukan lagi sekadar sentralisasi kaku, melainkan sebuah spektrum yang luas, mulai dari yang sangat sentralistik hingga yang sangat desentralistik atau bahkan regionalistik. Evolusi ini mencerminkan pemahaman bahwa untuk bertahan dan berkembang, negara kesatuan harus fleksibel, inklusif, dan mampu mengakomodasi suara-suara dari seluruh penjuru wilayahnya. Pilihan antara unitarisme dan federalisme, atau bahkan jenis unitarisme tertentu, pada akhirnya adalah cerminan dari sejarah unik, budaya, dan cita-cita politik suatu bangsa dalam mencapai tata kelola yang efektif dan adil bagi seluruh warganya.