Dalam lanskap sosial-ekonomi Indonesia yang dinamis, istilah "tugur" seringkali muncul sebagai cerminan dari kesenjangan pembangunan dan tantangan urbanisasi yang kompleks. Tugur, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), didefinisikan sebagai "tempat tinggal sementara yang sangat sederhana dan sering kali tidak layak huni; gubuk." Namun, di balik definisi yang singkat ini, terhampar realitas yang jauh lebih mendalam dan multidimensional. Tugur bukan sekadar struktur fisik yang tidak memadai, melainkan sebuah manifestasi dari berbagai permasalahan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang saling terkait, yang mencerminkan perjuangan dan ketahanan masyarakat marginal.
Permukiman tugur kerap ditemukan di berbagai penjuru Indonesia, dari pinggiran kota-kota metropolitan hingga daerah pedesaan yang terpencil, serta area pasca-bencana. Kehadirannya menjadi penanda penting akan ketiadaan akses yang merata terhadap perumahan layak, fasilitas dasar, dan jaring pengaman sosial bagi sebagian besar penduduk. Artikel ini akan menggali lebih dalam fenomena tugur di Indonesia, mulai dari akar penyebab kemunculannya, karakteristik unik yang membedakannya, dampak-dampak yang ditimbulkannya pada individu dan masyarakat, hingga berbagai upaya penanganan dan prospek masa depan.
Memahami tugur adalah memahami sebagian dari wajah Indonesia yang seringkali tersembunyi namun esensial. Ini adalah tentang memahami ketimpangan, adaptasi, dan harapan di tengah keterbatasan. Melalui eksplorasi ini, diharapkan kita dapat memperoleh perspektif yang lebih komprehensif mengenai isu permukiman marginal dan merumuskan langkah-langkah yang lebih tepat guna untuk menciptakan masa depan yang lebih inklusif dan adil bagi semua warga negara.
Kemunculan permukiman tugur di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang urbanisasi, migrasi, dan perubahan sosial-ekonomi. Sejak era kolonial hingga kemerdekaan, kota-kota di Indonesia selalu menjadi magnet bagi penduduk pedesaan yang mencari peluang ekonomi dan kehidupan yang lebih baik. Namun, pertumbuhan kota yang pesat tidak selalu diimbangi dengan penyediaan infrastruktur dan perumahan yang memadai, menciptakan celah yang kemudian diisi oleh permukiman informal.
Gelombang urbanisasi pasca-kemerdekaan, terutama sejak dekade 1970-an dengan dimulainya era pembangunan, telah menjadi faktor pendorong utama. Jutaan penduduk pedesaan berbondong-bondong ke kota besar untuk mencari pekerjaan di sektor industri dan jasa. Namun, keterbatasan lahan, mahalnya harga properti, dan kebijakan perumahan yang belum sepenuhnya inklusif memaksa para pendatang ini untuk menciptakan tempat tinggal sendiri di lahan-lahan yang seringkali tidak memiliki legalitas atau tidak layak huni, seperti bantaran sungai, kolong jembatan, pinggir rel kereta api, atau lahan kosong milik negara/swasta.
Proses ini menciptakan "kota di dalam kota" yang tidak terencana, di mana masyarakat membangun rumah seadanya dengan material bekas atau murah, tanpa akses sanitasi, air bersih, dan listrik yang memadai. Inilah cikal bakal permukiman tugur yang kita kenal sekarang, yang tumbuh subur seiring dengan laju pertumbuhan penduduk kota dan kesenjangan ekonomi yang semakin melebar.
Krisis ekonomi, seperti krisis moneter 1998, juga turut memperparah kondisi. Banyak keluarga yang jatuh miskin atau kehilangan pekerjaan, memaksa mereka untuk merelakan tempat tinggal layak dan pindah ke permukiman yang lebih murah atau bahkan mendirikan tugur. Sementara itu, bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, banjir, dan letusan gunung berapi secara periodik menciptakan gelombang pengungsi yang kehilangan rumah dan harta benda. Dalam situasi darurat ini, tenda-tenda pengungsian atau barak sementara seringkali menjadi permanen dan berkembang menjadi permukiman tugur baru yang berumur panjang karena minimnya solusi perumahan pasca-bencana yang berkelanjutan.
Dengan demikian, tugur bukan fenomena tunggal, melainkan hasil akumulasi dari berbagai tekanan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang membentuk realitas kehidupan masyarakat di lapisan bawah piramida ekonomi.
Meskipun bervariasi dalam skala dan lokasi, permukiman tugur memiliki beberapa karakteristik umum yang membedakannya dari permukiman formal. Ciri-ciri ini mencerminkan kondisi kehidupan yang serba terbatas namun juga menunjukkan adaptasi dan ketahanan luar biasa dari komunitas yang tinggal di dalamnya.
Karakteristik-karakteristik ini tidak hanya menggambarkan kondisi fisik tugur, tetapi juga mencerminkan sistem sosial dan ekonomi yang berkembang sebagai respons terhadap marginalisasi dan keterbatasan sumber daya. Kehidupan di tugur adalah sebuah manifestasi dari adaptasi manusia terhadap kondisi ekstrem.
Permukiman tugur adalah gejala, bukan akar masalah. Kemunculannya adalah hasil dari konvergensi berbagai faktor struktural dan individual yang menciptakan lingkungan di mana sebagian masyarakat tidak memiliki pilihan lain selain tinggal di kondisi yang tidak layak. Memahami penyebab ini sangat penting untuk merancang solusi yang efektif dan berkelanjutan.
Faktor fundamental yang melatarbelakangi keberadaan tugur adalah ketidakmerataan ekonomi dan kemiskinan struktural. Kesenjangan yang lebar antara kelompok kaya dan miskin, serta distribusi pendapatan yang tidak adil, membuat sebagian besar masyarakat tidak mampu mengakses perumahan yang layak dan terjangkau. Harga tanah dan properti yang terus melambung di perkotaan, jauh melebihi daya beli masyarakat berpenghasilan rendah, memaksa mereka mencari alternatif di lahan-lahan ilegal atau tidak diminati.
Kemiskinan bukan hanya soal kurangnya uang, tetapi juga kurangnya akses terhadap modal, pendidikan berkualitas, dan pekerjaan formal yang stabil. Lingkaran kemiskinan seringkali berlanjut dari generasi ke generasi, menjadikan tugur sebagai tempat tinggal permanen bagi banyak keluarga yang terperangkap dalam sistem ekonomi yang tidak adil.
Urbanisasi yang terjadi secara masif dan cepat di Indonesia seringkali tidak diimbangi dengan perencanaan tata kota yang komprehensif dan inklusif. Pemerintah daerah kesulitan menyediakan infrastruktur dasar, layanan publik, dan perumahan yang memadai untuk menampung lonjakan penduduk. Kebijakan tata ruang yang kurang mengakomodasi kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah, atau bahkan mengabaikan keberadaan mereka, memperparah masalah ini.
Akibatnya, lahan-lahan kosong yang strategis di perkotaan menjadi sasaran pembangunan gedung tinggi atau pusat bisnis, sementara masyarakat miskin terdesak ke pinggiran kota atau menduduki lahan-lahan yang rentan terhadap bencana atau penggusuran. Ketiadaan kebijakan perumahan yang berpihak pada rakyat miskin, serta proses perizinan yang rumit dan mahal, juga menjadi penghalang bagi pembangunan perumahan yang terjangkau.
Status lahan di permukiman tugur sebagian besar ilegal, baik karena menduduki tanah negara, swasta, atau tanah adat tanpa izin. Lemahnya penegakan hukum terhadap praktik pembangunan liar, ditambah dengan birokrasi pertanahan yang kompleks dan mahal, turut berkontribusi pada proliferasi tugur. Kadang, ada pula oknum-oknum yang memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan pribadi, seperti menyewakan lahan ilegal atau melakukan pungutan liar.
Konflik agraria yang tidak terselesaikan juga menjadi faktor. Banyak masyarakat yang kehilangan tanah leluhur mereka karena sengketa atau pembangunan proyek besar, dan kemudian terpaksa mencari tempat tinggal baru, seringkali di area informal.
Seperti yang disinggung sebelumnya, bencana alam dan konflik sosial dapat dengan cepat menciptakan gelombang pengungsian dan memaksa ribuan orang kehilangan tempat tinggal. Dalam situasi darurat, permukiman sementara yang darurat seringkali dibangun tanpa standar minimum keamanan dan kelayakan. Jika proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-bencana tidak berjalan efektif atau berkelanjutan, permukiman sementara ini dapat berkembang menjadi tugur permanen.
Konflik horizontal maupun vertikal, baik karena isu etnis, agama, atau politik, juga dapat menyebabkan perpindahan massal penduduk yang kemudian membentuk permukiman tugur di daerah yang lebih aman atau di pinggiran kota.
Tingkat pendidikan yang rendah seringkali membatasi akses individu pada pekerjaan formal dengan upah yang layak. Kurangnya keterampilan yang relevan dengan pasar kerja modern membuat banyak penghuni tugur terjebak dalam pekerjaan sektor informal yang tidak stabil. Ini menciptakan lingkaran setan: pendapatan rendah menyebabkan ketidakmampuan untuk memperbaiki kondisi hidup, termasuk perumahan, dan pada gilirannya, lingkungan tugur yang buruk dapat menghambat akses pendidikan dan kesehatan anak-anak, mengunci mereka dalam siklus kemiskinan yang sama.
Semua faktor ini saling berinteraksi dan memperkuat satu sama lain, menjadikan fenomena tugur sebagai tantangan multidimensional yang membutuhkan pendekatan holistik dan terpadu.
Kehidupan di permukiman tugur membawa serangkaian dampak negatif yang meluas, tidak hanya bagi individu yang tinggal di dalamnya, tetapi juga bagi masyarakat luas dan lingkungan. Dampak-dampak ini bersifat multidimensional, mencakup aspek sosial, ekonomi, kesehatan, lingkungan, dan psikologis.
Secara keseluruhan, dampak tugur adalah gambaran kompleks dari bagaimana marginalisasi spasial dapat memengaruhi setiap aspek kehidupan manusia, dari fisik hingga mental, dan dari individu hingga masyarakat.
Mengatasi fenomena tugur membutuhkan pendekatan yang komprehensif, multi-sektoral, dan partisipatif, melibatkan pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta, dan komunitas itu sendiri. Tidak ada solusi tunggal yang instan, melainkan serangkaian intervensi yang saling melengkapi.
Pemerintah memiliki peran sentral dalam merumuskan kebijakan, menyediakan anggaran, dan mengimplementasikan program-program penanganan tugur. Beberapa pendekatan yang bisa dilakukan antara lain:
Organisasi non-pemerintah (LSM) dan masyarakat sipil memiliki peran penting sebagai advokat, fasilitator, dan pelaksana program di lapangan.
Sektor swasta juga dapat berkontribusi melalui tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) atau pengembangan model bisnis yang inklusif.
Paling penting, setiap solusi harus melibatkan partisipasi aktif dari komunitas tugur itu sendiri. Mereka adalah subjek, bukan objek pembangunan.
Pendekatan holistik yang mengintegrasikan berbagai upaya ini, dengan penekanan pada hak asasi manusia, keadilan sosial, dan keberlanjutan, adalah kunci untuk secara bertahap mentransformasi permukiman tugur menjadi lingkungan yang layak huni dan memberikan martabat bagi penghuninya.
Meskipun artikel ini tidak menggunakan tahun atau lokasi spesifik sesuai permintaan, kita dapat merujuk pada jenis-jenis studi kasus dan implementasi program yang sering terjadi di Indonesia untuk memberikan gambaran konkret mengenai penanganan tugur.
Salah satu pendekatan yang banyak diterapkan di berbagai kota besar di Indonesia adalah revitalisasi atau "kampung improvement". Alih-alih menggusur, pemerintah daerah bekerja sama dengan komunitas untuk meningkatkan infrastruktur di permukiman yang sudah ada. Ini meliputi pembangunan jalan beton, perbaikan sistem drainase untuk mencegah banjir, penyediaan titik air bersih komunal, pembangunan MCK (Mandi Cuci Kakus) umum, serta perbaikan sistem kelistrikan. Dalam banyak kasus, program ini juga dilengkapi dengan pelatihan peningkatan keterampilan bagi warga atau fasilitasi akses ke modal usaha kecil.
Contoh yang berhasil seringkali menunjukkan peningkatan sanitasi, penurunan angka penyakit berbasis lingkungan, serta peningkatan rasa kepemilikan dan martabat warga karena mereka tidak dipindahkan dari tempat tinggal asli mereka.
Dalam kasus tugur yang berada di area sangat rawan bencana (misalnya bantaran sungai yang sering banjir besar) atau di lahan yang sangat strategis untuk kepentingan publik yang tidak bisa diganggu gugat, relokasi kadang menjadi pilihan terakhir. Namun, relokasi yang bertanggung jawab selalu diikuti dengan penyediaan perumahan pengganti yang layak. Perumahan vertikal seperti rumah susun (rusun) sering menjadi solusi.
Kunci keberhasilan relokasi terletak pada proses yang transparan, partisipatif, dan humanis. Warga harus dilibatkan sejak awal, diberikan informasi yang jelas, dan diberikan kompensasi yang adil, baik berupa unit rusun dengan sewa terjangkau, kesempatan kerja, atau dukungan transisi lainnya. Relokasi paksa tanpa solusi seringkali menimbulkan masalah sosial baru dan resistensi dari warga.
Banyak permukiman tugur yang secara mandiri telah melakukan upaya perbaikan. Dengan semangat gotong royong, warga secara swadaya mengumpulkan dana atau material bekas untuk memperbaiki jembatan penyeberangan, membangun pos keamanan, atau mengelola sampah secara kolektif. Kelompok-kelompok ibu-ibu juga sering membentuk arisan atau koperasi simpan pinjam skala mikro untuk membantu kebutuhan ekonomi anggotanya.
Inisiatif semacam ini menunjukkan kapasitas adaptasi dan ketahanan luar biasa dari komunitas tugur. Pemerintah atau LSM dapat mendukung inisiatif ini dengan memberikan pelatihan, modal awal, atau fasilitasi akses ke sumber daya yang lebih besar.
Setelah bencana alam berskala besar, banyak daerah menghadapi tantangan pembangunan kembali perumahan bagi korban. Program rehabilitasi pasca-bencana seringkali mencakup pembangunan hunian sementara (huntara) dan kemudian hunian tetap (huntap). Tantangan utamanya adalah memastikan bahwa hunian yang dibangun memenuhi standar kelayakan, tahan bencana, dan terintegrasi dengan fasilitas dasar serta mata pencarian warga.
Pelajaran dari banyak kasus adalah pentingnya melibatkan komunitas korban dalam desain dan proses pembangunan rumah mereka, serta memastikan ketersediaan lahan yang aman dan legal untuk pembangunan kembali. Jika tidak, huntara dapat menjadi tugur permanen, dan masalah permukiman marginal akan berulang.
Dari berbagai contoh ini, dapat disimpulkan bahwa solusi yang paling efektif adalah yang memadukan intervensi dari atas (kebijakan pemerintah) dengan inisiatif dari bawah (partisipasi komunitas), selalu dengan fokus pada martabat manusia, keberlanjutan, dan keadilan sosial.
Permasalahan tugur adalah cerminan dari tantangan pembangunan yang lebih luas. Menghadapi masa depan, tugur akan terus menjadi isu penting yang membutuhkan perhatian serius, terutama dengan proyeksi pertumbuhan penduduk urban yang berkelanjutan di Indonesia. Namun, di balik tantangan tersebut, terdapat pula berbagai peluang untuk menciptakan perubahan positif.
Masa depan tugur tidak harus suram. Dengan komitmen politik yang kuat, kebijakan yang inklusif, inovasi yang relevan, dan partisipasi aktif dari semua pihak, permukiman tugur dapat secara bertahap bertransformasi menjadi lingkungan yang lebih manusiawi dan bermartabat. Ini adalah investasi jangka panjang dalam keadilan sosial dan pembangunan yang berkelanjutan bagi seluruh bangsa.
Tugur adalah lebih dari sekadar gubuk atau permukiman kumuh; ia adalah sebuah narasi kompleks tentang ketidaksetaraan, perjuangan, adaptasi, dan harapan di tengah keterbatasan. Keberadaannya di Indonesia adalah cerminan dari dinamika urbanisasi yang cepat, kesenjangan ekonomi yang melebar, serta tantangan dalam penyediaan perumahan dan infrastruktur yang merata.
Dampak-dampak tugur menyentuh setiap aspek kehidupan, dari kesehatan fisik dan mental, kesempatan pendidikan dan ekonomi, hingga kerentanan terhadap bencana dan stigma sosial. Namun, di balik setiap tantangan, selalu ada kisah ketahanan, solidaritas, dan inisiatif dari komunitas yang berjuang untuk bertahan hidup dan memperbaiki nasib mereka.
Penanganan tugur tidak bisa dilakukan secara parsial. Ia membutuhkan pendekatan holistik dan berkelanjutan yang melibatkan semua pemangku kepentingan: pemerintah dengan kebijakan inklusif dan investasi perumahan terjangkau; masyarakat sipil sebagai advokat dan fasilitator pemberdayaan; sektor swasta dengan inovasi dan tanggung jawab sosial; serta yang terpenting, partisipasi aktif dari komunitas tugur itu sendiri sebagai arsitek masa depan mereka. Tujuan akhir bukan hanya sekadar menghilangkan tugur secara fisik, melainkan menciptakan permukiman yang berkeadilan, aman, sehat, dan bermartabat bagi setiap warga negara, tanpa terkecuali. Hanya dengan demikian, kita dapat mengklaim diri sebagai bangsa yang maju dan sejahtera seutuhnya.