Tuah Sakato: Kearifan Minangkabau untuk Harmoni Abadi
Ilustrasi Tuah Sakato: Persatuan dalam Kebersamaan Minangkabau.
Minangkabau, sebuah entitas budaya yang kaya dan mendalam di Sumatera Barat, Indonesia, memiliki permata filosofis yang menjadi inti dari setiap sendi kehidupannya: Tuah Sakato. Lebih dari sekadar slogan atau frasa, Tuah Sakato adalah manifestasi dari kearifan lokal yang telah membimbing masyarakat Minangkabau selama berabad-abad, membentuk karakter, norma, dan sistem sosial mereka. Frasa ini, secara harfiah dapat diartikan sebagai "berkah persatuan" atau "kekuatan kesepakatan", namun maknanya jauh melampaui terjemahan literal tersebut. Ia adalah ruh yang menghidupkan semangat kebersamaan, musyawarah untuk mufakat, dan pencarian solusi terbaik demi kemaslahatan bersama.
Dalam artikel ini, kita akan menyelami lebih jauh apa itu Tuah Sakato, akar-akar sejarah dan filosofisnya, bagaimana ia diimplementasikan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Minangkabau dari masa lalu hingga kini, relevansinya di era modern yang serba cepat, serta tantangan dan peluang untuk terus melestarikan nilai-nilai luhurnya. Kita akan melihat bagaimana Tuah Sakato bukan hanya sekadar konsep statis, melainkan sebuah dinamika hidup yang terus beradaptasi, namun tetap teguh pada prinsip-prinsip dasarnya.
Akar Filosofis dan Historis Tuah Sakato
Definisi dan Makna Mendalam
Untuk memahami Tuah Sakato, kita perlu membedah dua kata pembentuknya: "Tuah" dan "Sakato".
Tuah: Kata ini mengandung makna berkah, keberuntungan, kebaikan, dan martabat. Ia merujuk pada energi positif atau aura keberuntungan yang muncul dari suatu tindakan atau keadaan. Dalam konteks ini, tuah bukan hanya sekadar nasib baik, tetapi juga hasil dari tindakan yang benar, adil, dan didukung oleh konsensus. Tuah seringkali dikaitkan dengan karisma dan otoritas seorang pemimpin, namun di Minangkabau, tuah juga bisa dimiliki oleh suatu keputusan atau tindakan kolektif.
Sakato: Berarti seia-sekata, sepakat, bersatu, atau setuju. Ini mengindikasikan adanya harmoni pikiran, tujuan, dan tindakan di antara individu atau kelompok. Sakato adalah hasil dari proses musyawarah yang intens dan dialog yang mendalam, di mana setiap suara didengar dan setiap argumen dipertimbangkan dengan seksama.
Maka, Tuah Sakato dapat diinterpretasikan sebagai "berkah yang lahir dari kesepakatan bersama" atau "kekuatan yang muncul dari persatuan". Ini bukan sekadar kesepakatan mayoritas, melainkan mufakat bulat yang dicapai melalui proses musyawarah, di mana tidak ada pihak yang merasa kalah atau ditinggalkan. Tuah Sakato menekankan bahwa keputusan yang terbaik dan paling langgeng adalah keputusan yang diambil dengan melibatkan semua pihak, menciptakan rasa memiliki dan tanggung jawab kolektif terhadap hasil akhir.
Pengaruh Adat dan Agama Islam
Filosofi Tuah Sakato tidak dapat dipisahkan dari dua pilar utama kebudayaan Minangkabau: Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (Adat bersendikan syariat, syariat bersendikan Kitabullah). Ini menunjukkan bahwa adat Minangkabau sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam.
Adat: Sejak zaman pra-Islam, masyarakat Minangkabau telah memiliki sistem sosial yang kuat dengan penekanan pada kebersamaan dan musyawarah. Struktur nagari (desa adat) dan peranan mamak (paman dari pihak ibu) serta niniak mamak (pemimpin adat) adalah bukti nyata bagaimana pengambilan keputusan selalu dilakukan secara kolektif. Hukum adat, yang diwariskan secara turun-temurun, telah menanamkan nilai-nilai kebersamaan dan penyelesaian masalah melalui dialog.
Islam: Ajaran Islam dengan konsep syura (musyawarah) dan ijma (konsensus ulama) sangat selaras dengan prinsip sakato. Islam mengajarkan pentingnya bermusyawarah dalam setiap urusan, dan menekankan persatuan umat. Perkawinan antara adat dan syarak ini menguatkan fondasi Tuah Sakato, memberikan legitimasi spiritual dan moral pada praktik-praktik adat yang sudah ada, sekaligus memperkaya maknanya. Konsep keadilan sosial, persamaan di mata Tuhan, dan pentingnya menjaga tali silaturahmi yang diajarkan Islam semakin memperkokoh pentingnya kesepakatan bersama.
Integrasi antara adat dan syarak ini menghasilkan sebuah kearifan lokal yang unik, di mana nilai-nilai tradisional Minangkabau menemukan resonansi dalam ajaran Islam, menciptakan sebuah sistem yang kokoh dan berkesinambungan.
Sejarah Singkat Pembentukan Konsep
Meskipun sulit menunjuk pada satu titik sejarah spesifik pembentukan Tuah Sakato, konsep ini diyakini telah berkembang seiring dengan pembentukan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Sejak masa awal pembentukan nagari-nagari, di mana setiap keputusan penting yang menyangkut kehidupan komunal, seperti pembukaan lahan baru, penetapan hukum adat, atau penyelesaian sengketa, selalu dilakukan melalui musyawarah oleh para pemangku adat. Ini adalah bentuk awal dari Tuah Sakato yang telah dipraktikkan secara turun-temurun.
Pada masa kerajaan-kerajaan Minangkabau, seperti Pagaruyung, meskipun ada raja, namun kekuasaan raja tidak bersifat absolut. Raja tetap harus mendengarkan dan mempertimbangkan pandangan para penghulu dan tokoh adat, mencerminkan adanya mekanisme kontrol sosial dan pengambilan keputusan secara kolektif. Ini menunjukkan bahwa Tuah Sakato bukan sekadar teori, melainkan praktik yang mengakar dalam struktur pemerintahan dan sosial mereka.
Pepatah-petitih Minangkabau yang tak terhitung jumlahnya juga secara konsisten menggarisbawahi pentingnya persatuan, kesepakatan, dan musyawarah. Ungkapan seperti "bulat air dek pambuluah, bulat kato dek mufakat" (bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat) adalah bukti nyata betapa sentralnya konsep mufakat dalam jiwa Minangkabau.
Pilar-Pilar Utama Tuah Sakato
Tuah Sakato berdiri di atas beberapa pilar fundamental yang saling menguatkan, membentuk sebuah sistem nilai yang holistik dan berkelanjutan. Pilar-pilar ini adalah kunci untuk memahami bagaimana masyarakat Minangkabau menjaga keharmonisan dan dinamika sosialnya.
1. Musyawarah: Proses Dialog Partisipatif
Musyawarah adalah jantung dari Tuah Sakato. Ini adalah proses dialog terbuka di mana setiap individu atau perwakilan kelompok memiliki kesempatan untuk menyampaikan pandangan, ide, dan keberatan mereka. Dalam musyawarah Minangkabau, yang sering disebut "baduo barundiang, batigo baelek" (berdua berunding, bertiga berembuk), bukan hanya argumentasi logis yang penting, tetapi juga bagaimana cara penyampaian dan penerimaan pandangan dilakukan dengan rasa hormat dan kearifan.
Keterbukaan dan Inklusivitas: Musyawarah harus melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Tidak ada suara yang diabaikan atau dikesampingkan, bahkan jika pandangan tersebut minoritas. Tujuannya adalah mencari titik temu, bukan mencari siapa yang paling benar.
Kesabaran dan Kearifan: Proses musyawarah seringkali panjang dan membutuhkan kesabaran yang tinggi. Para peserta didorong untuk mendengarkan dengan seksama, berbicara dengan bijak, dan menghindari emosi. Pemimpin musyawarah (biasanya niniak mamak) berperan penting dalam menjaga agar diskusi tetap fokus dan konstruktif.
Menghargai Perbedaan: Perbedaan pendapat dianggap sebagai kekayaan, bukan sebagai hambatan. Dari berbagai sudut pandang yang berbeda, diharapkan akan muncul solusi yang lebih komprehensif dan kuat.
2. Mufakat: Hasil Konsensus yang Utuh
Mufakat adalah tujuan akhir dari musyawarah. Berbeda dengan voting yang menghasilkan keputusan berdasarkan mayoritas, mufakat berarti sebuah kesepakatan bulat yang dicapai setelah semua keberatan dan pertimbangan telah diserap dan diakomodasi. Dalam mufakat, tidak ada pihak yang merasa kalah atau dipaksa. Semua pihak merasa memiliki keputusan tersebut dan berkomitmen untuk melaksanakannya.
Tanpa Pemenang atau Kalah: Mufakat bertujuan untuk menciptakan situasi "win-win", di mana kepentingan semua pihak dipertimbangkan dan diintegrasikan.
Keputusan yang Mengikat: Begitu mufakat tercapai, keputusan tersebut menjadi mengikat bagi seluruh komunitas. Tidak ada lagi ruang untuk perselisihan atau penarikan diri. Inilah yang melahirkan "tuah" atau berkah, karena keputusan yang diambil secara bulat akan memiliki dukungan dan kekuatan moral yang luar biasa.
Komitmen Bersama: Mufakat membangun rasa tanggung jawab kolektif. Setiap individu merasa bertanggung jawab untuk menjaga dan melaksanakan keputusan yang telah disepakati bersama.
3. Kebersamaan (Gotong Royong): Solidaritas Sosial
Prinsip kebersamaan, atau yang lebih dikenal dengan gotong royong, adalah aspek nyata dari implementasi Tuah Sakato. Setelah kesepakatan dicapai, upaya kolektif dibutuhkan untuk mewujudkannya. Gotong royong adalah praktik saling bantu-membantu dalam berbagai kegiatan, baik yang bersifat sosial, ekonomi, maupun pembangunan.
Kerja Sama dalam Pelaksanaan: Mufakat tidak berhenti pada kata-kata, tetapi terwujud dalam tindakan nyata. Gotong royong memastikan bahwa setiap anggota masyarakat berkontribusi sesuai dengan kemampuan dan peranannya.
Mengurangi Beban Individu: Dengan bekerja sama, beban pekerjaan yang berat menjadi lebih ringan. Ini memperkuat ikatan sosial dan rasa persaudaraan.
Manifestasi Rasa Memiliki: Melalui gotong royong, masyarakat menunjukkan rasa memiliki terhadap hasil keputusan bersama. Ini adalah investasi emosional dan fisik yang mengikat mereka pada tujuan kolektif.
4. Keadilan dan Keseimbangan: Prinsip Egaliter
Tuah Sakato sangat menekankan pentingnya keadilan dan keseimbangan. Dalam setiap musyawarah, para pemangku adat dan peserta selalu berusaha mencari solusi yang adil bagi semua pihak, tanpa memihak pada satu kelompok atau individu tertentu. Keseimbangan juga berarti menjaga harmoni antara hak dan kewajiban, antara kepentingan individu dan kepentingan komunal, serta antara manusia dan alam.
Hak dan Kewajiban yang Sama: Setiap anggota masyarakat, terlepas dari status sosialnya, memiliki hak untuk didengar dan kewajiban untuk berkontribusi.
Distribusi Manfaat yang Adil: Hasil dari keputusan yang disepakati bersama diharapkan dapat memberikan manfaat yang merata atau setidaknya adil bagi seluruh komunitas.
Memelihara Lingkungan: Keseimbangan juga berarti menjaga hubungan harmonis dengan alam, mengingat sumber daya alam adalah anugerah Tuhan yang harus dijaga bersama untuk generasi mendatang. Adat Minangkabau kaya dengan petatah-petitih yang mengajarkan untuk tidak merusak alam.
Implementasi Tuah Sakato dalam Kehidupan Masyarakat Minangkabau
Prinsip Tuah Sakato tidak hanya tertuang dalam wacana filosofis, tetapi benar-benar terimplementasi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Minangkabau. Dari struktur pemerintahan adat hingga interaksi sehari-hari, Tuah Sakato menjadi pedoman utama.
1. Nagari dan Pemerintahan Adat
Nagari adalah unit pemerintahan adat terkecil di Minangkabau, dan merupakan representasi paling nyata dari penerapan Tuah Sakato. Setiap nagari memiliki sistem pemerintahan yang unik, di mana keputusan-keputusan penting diambil melalui musyawarah oleh para pemangku adat (niniak mamak), alim ulama, cadiak pandai (cendekiawan), dan bundo kanduang (wanita panutan).
Dewan Kerapatan Adat Nagari (KAN): KAN adalah lembaga tertinggi di nagari yang beranggotakan perwakilan dari empat unsur utama masyarakat adat (Niniak Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai, Bundo Kanduang). Setiap keputusan penting terkait nagari, seperti penetapan peraturan adat, pengelolaan tanah ulayat, atau pembangunan fasilitas umum, harus melalui KAN dan mencapai mufakat.
Pemilihan Penghulu: Proses pemilihan dan pengangkatan penghulu (pemimpin suku) juga dilakukan melalui musyawarah dan mufakat dalam kaum (klan) yang bersangkutan. Penghulu yang terpilih harus mendapat restu dan persetujuan dari seluruh anggota kaumnya, serta diakui oleh penghulu-penghulu lain di nagari.
Pengelolaan Tanah Ulayat: Tanah ulayat adalah tanah komunal milik suku atau nagari. Pengelolaan dan pemanfaatannya diatur secara kolektif melalui musyawarah. Keputusan untuk menjual, menyewakan, atau meminjamkan tanah ulayat harus melalui persetujuan mufakat seluruh ahli waris dan niniak mamak, memastikan keadilan dan keberlanjutan.
2. Ekonomi dan Sosial
Dalam bidang ekonomi dan sosial, Tuah Sakato mendorong semangat kebersamaan dan saling membantu.
Julo-Julo (Arisan): Meskipun tidak secara langsung merupakan bagian dari Tuah Sakato, praktik julo-julo mencerminkan semangat kebersamaan dan saling percaya yang tumbuh dari budaya mufakat. Para peserta sepakat untuk berkumpul dan menyetor sejumlah uang, yang kemudian digilirkan kepada anggota sesuai kesepakatan.
Gotong Royong dalam Pembangunan: Dari membangun rumah, membersihkan irigasi, hingga mendirikan masjid atau balai adat, kegiatan gotong royong adalah hal yang lumrah. Masyarakat bekerja sama tanpa imbalan, menunjukkan solidaritas dan komitmen mereka terhadap hasil keputusan bersama.
Pesta Perkawinan dan Kematian: Dalam upacara adat seperti perkawinan (baralek) atau kematian, seluruh anggota keluarga besar dan kaum saling bahu-membahu mempersiapkan segala sesuatunya. Dana dan tenaga dikumpulkan secara kolektif, meringankan beban keluarga yang bersangkutan.
3. Pendidikan dan Pewarisan Nilai
Nilai-nilai Tuah Sakato ditanamkan sejak dini melalui pendidikan informal di keluarga dan komunitas. Anak-anak diajari pentingnya menghormati orang tua, mendengarkan nasihat, dan berpartisipasi dalam diskusi keluarga.
Petatah-Petitih dan Ungkapan Adat: Melalui cerita, pantun, dan pepatah-petitih, anak-anak diperkenalkan pada kearifan lokal yang menekankan pentingnya persatuan, kesabaran, dan musyawarah. Contohnya: "indak ado karuah nan indak janiah, indak ado kusut nan indak salasai" (tidak ada keruh yang tidak jernih, tidak ada kusut yang tidak selesai) menggambarkan optimisme bahwa setiap masalah dapat diselesaikan melalui musyawarah.
Peran Bundo Kanduang: Para wanita Minangkabau (bundo kanduang) memiliki peran sentral dalam mendidik generasi muda tentang adat dan etika, termasuk nilai-nilai Tuah Sakato. Mereka mengajarkan bagaimana bersikap dalam musyawarah, menghargai keputusan bersama, dan menjaga harmoni keluarga serta masyarakat.
4. Penyelesaian Konflik
Salah satu aplikasi paling krusial dari Tuah Sakato adalah dalam penyelesaian konflik. Dalam masyarakat Minangkabau, konflik, baik antar individu, antar kaum, maupun antar nagari, sedapat mungkin diselesaikan melalui jalur musyawarah dan mufakat, bukan melalui jalur hukum formal yang cenderung konfrontatif.
Peran Niniak Mamak: Niniak mamak bertindak sebagai mediator dan fasilitator dalam proses penyelesaian konflik. Mereka memiliki wibawa dan kearifan untuk membimbing pihak-pihak yang bersengketa menuju titik temu.
Mencari Keadilan Substantif: Proses ini tidak hanya mencari siapa yang salah dan siapa yang benar secara hukum, tetapi lebih pada mencari keadilan substantif yang dapat diterima oleh kedua belah pihak, memulihkan hubungan, dan mencegah konflik berulang.
Prinsip "Nan Indak Putuih Diruntuang, Nan Indak Habih Dimakan": Artinya, "yang tidak putus oleh diruntuh, yang tidak habis oleh dimakan," menyiratkan bahwa solusi haruslah langgeng dan tidak merusak tatanan sosial yang ada. Mufakat yang dicapai haruslah solusi yang berkelanjutan dan memperkuat kohesi sosial.
Tuah Sakato dalam Konteks Kontemporer
Di tengah arus globalisasi, modernisasi, dan individualisme, nilai-nilai Tuah Sakato menghadapi tantangan sekaligus menemukan relevansi baru. Bagaimana kearifan lokal ini beradaptasi dan tetap relevan di zaman yang serba cepat ini?
1. Relevansi di Era Modern
Meskipun dunia telah banyak berubah, esensi Tuah Sakato tetap krusial dan dapat diaplikasikan dalam berbagai konteks modern.
Manajemen Organisasi dan Bisnis: Konsep musyawarah dan mufakat sangat relevan dalam pengambilan keputusan di perusahaan atau organisasi. Pendekatan partisipatif (bottom-up), di mana setiap suara didengar, dapat menghasilkan keputusan yang lebih inovatif, didukung penuh oleh tim, dan mengurangi resistensi terhadap perubahan. Nilai kebersamaan dapat meningkatkan produktivitas dan loyalitas karyawan.
Tata Kelola Pemerintahan: Dalam konteks pemerintahan daerah, terutama di Sumatera Barat, Tuah Sakato dapat menjadi landasan untuk membangun tata kelola yang transparan, akuntabel, dan partisipatif. Pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan kebijakan pembangunan melalui forum-forum musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan) adalah wujud modern dari musyawarah.
Penyelesaian Konflik Sosial: Di tengah meningkatnya polarisasi dan konflik sosial, pendekatan Tuah Sakato menawarkan model penyelesaian konflik yang lebih harmonis dan berkelanjutan. Mediasi berbasis komunitas yang mengedepankan dialog dan konsensus, seperti yang dipraktikkan oleh lembaga adat, dapat menjadi alternatif yang efektif.
Pembangunan Berkelanjutan: Prinsip keseimbangan dan keadilan dalam Tuah Sakato sangat relevan dengan agenda pembangunan berkelanjutan. Pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana, dengan mempertimbangkan kepentingan generasi mendatang dan melibatkan komunitas lokal, adalah cerminan dari Tuah Sakato.
2. Tantangan dan Adaptasi
Menerapkan Tuah Sakato di era modern bukan tanpa tantangan. Beberapa di antaranya adalah:
Individualisme: Arus globalisasi seringkali mempromosikan individualisme, yang bisa bertentangan dengan semangat kebersamaan dan kolektivitas Tuah Sakato. Generasi muda mungkin lebih condong pada keputusan individual daripada menunggu mufakat kolektif.
Biurokrasi dan Formalisme: Sistem hukum dan birokrasi modern cenderung formal dan hirarkis, yang terkadang kurang mengakomodasi proses musyawarah yang fleksibel dan organik.
Pergeseran Otoritas Adat: Peran niniak mamak dan lembaga adat terkadang tergerus oleh otoritas pemerintahan formal dan perubahan struktur sosial.
Percepatan Informasi: Keputusan harus diambil dengan cepat di era digital, yang kadang sulit diselaraskan dengan proses musyawarah yang membutuhkan waktu.
Namun, Tuah Sakato juga memiliki daya adaptasi. Misalnya, musyawarah kini bisa dilakukan melalui platform daring, dan nilai-nilai kebersamaan bisa diwujudkan dalam kolaborasi proyek digital atau gerakan sosial online. Intinya adalah menjaga semangat dan filosofi di balik Tuah Sakato, sementara bentuk implementasinya bisa disesuaikan dengan konteks zaman.
3. Peluang untuk Pembangunan Berkelanjutan
Tuah Sakato menyimpan potensi besar untuk mendorong pembangunan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Dengan menempatkan partisipasi, konsensus, dan keadilan sebagai inti pembangunan, Minangkabau dapat menjadi model bagi daerah lain.
Penguatan Ekonomi Lokal: Dengan semangat Tuah Sakato, komunitas dapat mengembangkan usaha bersama, koperasi, atau industri kreatif yang berbasis potensi lokal, dengan keuntungan yang didistribusikan secara adil.
Konservasi Lingkungan Berbasis Masyarakat: Masyarakat adat memiliki kearifan lokal dalam menjaga lingkungan. Melalui Tuah Sakato, keputusan tentang konservasi hutan, sungai, atau laut dapat diambil secara kolektif, memastikan keberlanjutan sumber daya alam.
Penguatan Identitas Budaya: Melalui revitalisasi Tuah Sakato, generasi muda dapat terhubung kembali dengan akar budaya mereka, memperkuat identitas diri, dan menumbuhkan rasa bangga terhadap warisan leluhur.
Dari Filosofi Menjadi Aksi Nyata: Bagaimana Tuah Sakato Dihidupkan
Filosofi Tuah Sakato tidak akan berarti tanpa implementasi yang konsisten dalam kehidupan sehari-hari. Ia perlu dihidupkan, dirawat, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Berikut adalah beberapa cara Tuah Sakato dihidupkan dan bagaimana kita dapat mengaktualisasikannya.
1. Dialog dan Komunikasi Terbuka
Inti dari Tuah Sakato adalah kemampuan untuk berdialog dan berkomunikasi secara terbuka. Ini berarti menciptakan ruang aman di mana setiap orang merasa nyaman untuk berbagi pandangan mereka tanpa takut dihakimi. Dalam keluarga, ini bisa berarti mengadakan "rapat keluarga" kecil untuk memutuskan sesuatu. Di masyarakat, ini terwujud dalam forum musyawarah formal maupun informal.
Aktif Mendengar: Kunci komunikasi yang efektif adalah mendengarkan secara aktif. Bukan hanya mendengar kata-kata, tetapi juga memahami perspektif, perasaan, dan kekhawatiran orang lain.
Berbicara dengan Santun: Dalam tradisi Minangkabau, cara berbicara sangat dijaga. "Kato nan ampek" (empat jenis kata) mengajarkan bagaimana berbicara sesuai konteks dan lawan bicara, menjaga agar tidak menyinggung perasaan dan tetap mencari solusi bersama.
Mencari Titik Temu: Tujuan utama dialog adalah mencari kesamaan, bukan memperuncing perbedaan. Ini membutuhkan kemauan untuk berkompromi dan melihat masalah dari berbagai sudut pandang.
2. Peran Kepemimpinan yang Mengayomi
Kepemimpinan dalam konteks Tuah Sakato tidaklah otoriter. Seorang pemimpin, baik itu niniak mamak, kepala keluarga, atau manajer, haruslah sosok yang mengayomi, fasilitator, dan penengah.
Menjadi Contoh: Pemimpin harus menjadi teladan dalam menerapkan nilai-nilai musyawarah, mufakat, dan kebersamaan.
Memfasilitasi Konsensus: Tugas utama pemimpin adalah membimbing proses musyawarah agar mencapai mufakat, memastikan semua suara didengar, dan merangkum berbagai pandangan menjadi satu kesepakatan yang kuat.
Memelihara Harmoni: Pemimpin bertanggung jawab menjaga keharmonisan dalam kelompok atau komunitas, mencegah konflik, dan menyelesaikannya dengan bijaksana jika terjadi.
3. Pendidikan Karakter dan Nilai
Pewarisan Tuah Sakato harus dimulai dari rumah dan berlanjut di sekolah serta komunitas.
Keluarga Sebagai Fondasi: Orang tua memiliki peran krusial dalam menanamkan nilai-nilai kebersamaan, menghargai perbedaan, dan pentingnya musyawarah dalam pengambilan keputusan keluarga.
Pendidikan Formal: Kurikulum sekolah dapat mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal seperti Tuah Sakato dalam mata pelajaran yang relevan, mengajarkan siswa tentang demokrasi partisipatif dan resolusi konflik.
Kegiatan Komunitas: Melibatkan generasi muda dalam kegiatan gotong royong, pertemuan adat, atau diskusi komunitas dapat memberikan pengalaman langsung tentang bagaimana Tuah Sakato bekerja dalam praktik.
4. Revitalisasi Adat dan Tradisi
Mempertahankan dan menghidupkan kembali tradisi adat yang berkaitan dengan musyawarah dan mufakat adalah cara efektif untuk melestarikan Tuah Sakato.
Fungsi Kerapatan Adat Nagari (KAN): Menguatkan peran dan fungsi KAN sebagai lembaga tertinggi dalam pengambilan keputusan adat di nagari.
Pelestarian Upacara Adat: Banyak upacara adat yang memiliki elemen musyawarah dan simbol kebersamaan. Melestarikan upacara ini juga berarti melestarikan nilai-nilai di baliknya.
Dokumentasi dan Kajian: Melakukan penelitian, dokumentasi, dan publikasi tentang Tuah Sakato agar pemahaman tentang kearifan ini dapat meluas, tidak hanya di Minangkabau tetapi juga di tingkat nasional dan internasional.
Tuah Sakato dalam Petatah-Petitih Minangkabau
Kekuatan Tuah Sakato juga tercermin dalam kekayaan petatah-petitih (pepatah dan peribahasa) Minangkabau. Ungkapan-ungkapan ini bukan hanya sekadar kata-kata indah, melainkan pedoman hidup yang penuh makna.
"Adat nan duo puluah, limbago nan duo baleh, mulo jo mulo, akhir jo akhir."
(Adat ada dua puluh, lembaga ada dua belas, dimulai dari awal, diakhiri di akhir.)
Maknanya: Setiap urusan memiliki aturan dan tata cara yang jelas, harus dipatuhi dari awal hingga akhir, dan proses musyawarah adalah bagian dari tata cara tersebut.
"Bulat air dek pambuluah, bulat kato dek mufakat."
(Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat.)
Maknanya: Sama seperti air yang mengalir dalam satu wadah menjadi bulat, demikian pula perkataan atau keputusan akan menjadi bulat jika dicapai melalui mufakat.
"Nan elok samo dipakai, nan buruak samo dibuang."
(Yang baik sama dipakai, yang buruk sama dibuang.)
Maknanya: Hasil mufakat harus menghasilkan keputusan yang disepakati bersama untuk kebaikan, dan hal-hal yang tidak bermanfaat atau berpotensi merusak harus ditinggalkan bersama.
"Suluah bendang di nan kalam, batang gangga di nan rapek, duduak surang basampik-sampik, duduak basamo balapang-lapang."
(Senter terang di kegelapan, batang kemudi di kerumunan, duduk sendiri sempit-sempit, duduk bersama lapang-lapang.)
Maknanya: Nilai kebersamaan dan musyawarah akan selalu menjadi penerang dalam kegelapan dan panduan dalam setiap masalah. Duduk sendiri merasa sempit, tetapi duduk bersama akan merasa lapang dan nyaman karena ada dukungan dan solusi bersama.
"Nan kuriak kundi, nan merah sago, nan baiak budi, nan indah baso."
(Yang berbintik itu kundi, yang merah itu sago, yang baik itu budi, yang indah itu bahasa.)
Maknanya: Mengingatkan bahwa dalam bermusyawarah, budi pekerti dan cara berbicara yang baik adalah kunci untuk mencapai kesepakatan dan menjaga keharmonisan.
Petatah-petitih ini secara gamblang menggambarkan bagaimana nilai-nilai Tuah Sakato telah tertanam kuat dalam bahasa dan cara berpikir masyarakat Minangkabau, menjadi panduan moral yang membentuk perilaku sosial mereka.
Penutup
Tuah Sakato adalah warisan tak ternilai dari kebudayaan Minangkabau. Ia bukan hanya sekadar teori, melainkan sebuah filosofi hidup yang telah teruji oleh waktu, membimbing masyarakat dalam membangun harmoni, menyelesaikan konflik, dan mencapai kemajuan bersama. Dalam kompleksitas dunia modern, nilai-nilai Tuah Sakato justru semakin relevan. Ia mengajarkan kita pentingnya mendengarkan, menghargai perbedaan, mencari konsensus, dan bekerja sama demi tujuan yang lebih besar.
Melestarikan Tuah Sakato berarti melestarikan jati diri bangsa, memperkuat fondasi kebersamaan, dan membangun masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan. Dengan terus menghidupkan semangat musyawarah, mufakat, kebersamaan, keadilan, dan keseimbangan, kita dapat memastikan bahwa "Tuah Sakato" akan terus memberikan berkah dan kekuatan bagi Minangkabau, dan menjadi inspirasi bagi seluruh masyarakat Indonesia dan dunia.
Semoga kearifan ini terus bersinar, membimbing kita menuju persatuan yang kokoh dan keharmonisan yang abadi.